Jakarta – Sejak pertama kali hadir di Indonesia pada tahun 1971 hingga Juni 2016 ini, penjualan light duty truck (LDT) Mitsubishi Colt Diesel telah mencapai 981.983 unit. Bahkan, sepanjang Januari – April 2016, truk itu diklaim menggenggam pangsa pasar sebesar 56,2% di kelasnya.
“Sejauh ini Mitsubishi Colt Diesel menjadi backbone penjualan kendaraan niaga Mitsubishi di Indonesia. Bahkan di periode Januari – April lalu,” tutur Marketing Director of Mitsubishi Fuso Truck and Bus Corporation (MFTB) Marketing Division PT Krama Yudha Tiga Berlian Motors (KTB), Duljatmono, saat ditemui di sela acara buka bersama, di Jakarta, Jumat (17/6) malam.
Menurutnya, kontribusi yang cukup besar di Colt Diesel, disumbangkan oleh varian-varian FE 71PS – truk dan bus chassis- yakni sebesar 22%. Sedangkan varian FE 71PS standar memberi kontribusi sebanyak 13%.
“Melihat fakta, bahwa kontribusi varian FE 71PS ini cukup banyak, maka KTB memutuskan untuk melakukan pengembangan varian tersebut. Hasilnya, varian terbaru Mitsubishi Colt Diesel FE 71PS yang dilengkapi power steering,” kata Duljatmono.
Meski hingga saat ini ekonomi masih lesu, namun Duljatmono meyakini pada semester kedua nanti pasar kendaraan komersial khususnya segmen ini akan menggeliat bahkan lari lebih kencang. Geliat tersebut terpicu oleh realisasi program pembangunan infrastruktur oleh pemerintah sekaligus dampak dari pemangkasan suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI Rate yang saat ini telah menjadi 6,5%.
Duljatmono meyakini, proyek-proyek infrastruktur akan memberikan multiplier effect terhadap konsumsi domestik, mulai dari permintaan bahan bangunan konstruksi seperti semen, batu, pasir, cat, dan lain-lain.Bahkan, permintaan juga terjadi di sektor tenaga kerja, jasa angkutan, dan konsumsi makanan, minuman, dan lainnya.
“Artinya, proyek-proyek infrastruktur akan menjadi pelatuk terjadinya perminataan tersebut. Jika itu terjadi, maka bisnis manufaktur makanan, rumah makan, warung, jasa angkutan, kargo, antarbarang ikut bergerak. Begitu pun dengan peternakan, pertanian, perikanan. Nah, di situlah akan terjadi penyerapan kendaraan niaga yang dibutuhkan untuk menunjang kegiatan di bidang itu,” paparnya.
Terlebih, meski tak akan terjadi dengan serta merta namun dampak penurunan BI Rate terhadap suku bunga kredit akan memberikan sentiment positif di periode mendatang. Terlebih jika inflasi tetap terjaga di kisaran 4% plus minus 1%.
“Permintaan kredit kemungkinan besar juga akan naik. Dengan demikian, kegiatan ekonomi produksi baik manufaktur, jasa, hingga yang berkaitan dengan konsumsi rumah tangga juga akan naik. Itulah yang menjadi dasar optimisme kami,” ucap pria yang akrab disapa Momon tersebut.
Ihwal kemungkinan besar pergerakan sektor infrastruktur dan sektor lain di semester kedua, Duljatmono mengatakan karena telah menjadi siklus umum. Pada paruh kedua, lanjutnya, biasanya dana-dana belanja pemerintah dan swasta cair. (Ara)