Pertumbuhan ekonomi nasional yang di dalamnya terdapat unsur sektor otomotif, industri pertambangan, perkebunan, serta manufaktur telah membawa dampak positif bagi industri pelumas atau oli di Tanah Air. Permintaan oli terus bertumbuh seiring dengan penggunaan mesin pada sektor-sektor tersebut.
Data Kementerian Perindustrian menyebut, saat ini tak kurang dari 22 pabrikan produsen pelumas yang beroperasi di Indonesia. Namun, jika dilihat dari ragam varian produk pelumas dan merek yang beredar di pasar Tanah Air, ternyata ada 200 perusahaan yang memasarkan oli.
Sementara, dilihat dari konsumsi oli nasional sampai saat ini masih sekitar 850.000 kiloliter. Sedangkan suplainya mencapai hampir 2 juta kiloliter. Artinya, telah terjadi over supply ke pasar.
Namun, sejatinya, persoalan yang jauh lebih penting menyikapi membanjirnya produk pelumas ke pasar dalam negeri adalah standarisasi mutu. Artinya, dengan meneraptkan standar mutu yakni Standar Nasional Indonesia, kepentingan konsumen sekaligus para produsen resmi yang beroperasi di Indonesia terlindungi.
Terlebih, secara legal formal telah ada landasan untuk menerapkan kebijakan seperti itu. Sebab, sejak 10 tahun lalu pemerintah telah menetapkan SNI untuk pelumas. Hanya memang, ketentuan itu sifatnya masih sukarela atau belum diwajibkan.
Oleh karena itulah, sudah saatnya ketentuan tersebut menjadi wajib, terlebih di saat tatanan ekonomi dalam kerangkan ASEAN Economy Community (AEC) telah diberlakukan. Dengan tatanan baru itu, maka arus barang dan modal keluar dan masuk sutau negara di antara anggota ASEAN juga semakin bebas.
Padahal, dari total populasi penduduk kawasan regional ini yang sebanyak 601 juta jiwa, jumlah penduduk Indonesia yang terbesar. Lebih dari itu, pertumbuhan pasar otomotif masih memiliki potensi yang sangat besar baik kendaraan roda empat untuk penumpang, kendaraan komersial untuk angkutan umum maupun penunjang sektor industri, serta mesin sektor manufaktur seperti pabrik-pabrik.
Dengan kata lain, potensi pasar pelumas di Indonesia sangat menggiurkan bagi siapa saja yang main di komoditas ini. Bahkan, tren pasokan oli pun terus meningkat.
Data dari Kementerian Perindustrian menunjukan, sepanjang tahun 2010 hingga tahun 2013 impor produk pelumas meningkat hingga 50%. Jika pada tahun 2010 masih 200.000 kiloliter, pada tahun 2013 telah mencapai 300.000 kiloliter.
Melihat fakta tersebut, sebuah upaya untuk mencermati dan menyaring yang memenuhi standar kualitas di dalam negeri sudah semestinya diterapkan secara tegas. Memang, dalam kacamata perdagangan internasional, cara seperti ini bisa dimaknai sebagai instrumen non tariff barrier.
Tapi, penerapan sebuah standar mutu – terlepas dari segala persepsi subyektif yang menyertainya dan diungkapkan pihak-ihak lain – itu merupakan kelaziman dan ditolerir oleh aturan dan kaidah perdagangan internasional. Di negara lain pun cara seperti ini juga diberlakukan.
Dalam kacamata kepentingan dalam negeri Indonesia, cara seperti itu merupakan upaya untuk melindungi industri dalam negeri. Terlebih sektor itu menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Bila itu terjadi, maka roda perekonomian akan menggelinding lancar dan pertumbuhan ekonomi pun terjadi.
Wacana penerapan wajib SNI untuk produk oli memang diiringi tanggapan yang dimunculkan dari sisi-sisi lain yang bersifat negatif. Misalnya, disebut sebagai ketakutan Pertamina Lubricants terhadap tatanan perdagangan bebas. Anggapan seperti ini sama sekali tidak berdasar.
Selain pernah mengalami masa monopoli, Pertamina Lubricants juga menjalani bisnis di era pasar bebas. Berdasar Undang-undang nomor 8 tahun 1971 PT Pertamina (Persero) mendapat penugasan untuk memproduksi dan mendistribusikan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan hasil olahan minyak dan gas bumi termasuk produk pelumas ke seluruh wilayah Tanah Air.
Kemudian pada tahun 1988, pemerintah menerbitkan Keppres nomor 18 yang memberikan kesempatan kepada pihak swasta untuk mengimpor pelumas dari jenis sintetis yang belum diproduksi Pertamina. Ini sebuah bukti, pada masa itu juga sudah berlaku pasar bebas.
Bahkan, kebijakan yang merupakan konsekwensi logis dari tatanan pasar bebas di tataran global itu semakin menguat dengan lahirnya aturan baru. Aturan ini adalah Keppres RI nomor 21/2001 dan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral nomor 1693 K/34 M.PE/2001 yang membuka kesempatan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), perusahaan swasta, perusahaan milik asing dan Koperasi untuk melaksanakan penyediaan dan pelayanan pelumas di dalam negeri.
Tapi, fakta berbicara, kendati menghadapi gempuran produk-produk asing hingga kini Pertamina Lubricants masih menggenggam pangsa pasar hingga 60%. Ini sutau bukti bahwa secara kualitas baik bahan dasar, teknologi, hingga penetrasi pasar, Pertamina Lubricants memiliki keunggulan.
Kami tak menolak dengan tatanan seperti itu. Tetapi kami juga ingin aturan secara tegas ditegakan, terutama penerapan aturan wajib SNI. Dan satu hal yang jauh lebih penting dipahami, penerapan kebijakan itu bukanlah demi kepentingan pihak tertentu saja, tetapi kepentingan bangsa karena industri dalam negeri kuat dan pertumbuhan ekonomi pun semakin cepat.
* Tulisan ini disarikan dari wawancara dengan Vice President Marketing Retail PT Pertamina Lubricants, Syafanir Sayuti, di sela acara berbuka puasa bersama di Jakarta, beberapa waktu lalu.