Menggenjot pertumbuhan ekonomi di tengah kondisi perekonomian dunia dengan volatilitas yang tinggi serta menghemat anggaran untuk diarahkan ke kegiatan ekonomi produktif merupakan persoalan krusial yang dihadapi pemerintah Indonesia sejak dulu. Bicara soal anggaran – yang sejatinya merupakan modalitas terpenting dalam menggenjot laju perekonomian – komponen yang perlu mendapat perhatian adalah biaya impor.
Salah satunya adalah biaya impor Bahan Bakar Minyak (BBM) yang sebagian besar digunakan untuk kegiatan konsumtif yakni kendaraan pribadi. Meski secara perlahan subsidinya dipangkas (untuk tidak mengatakan dihilangkan hingga habis, namun yang pasti porsi anggaran impor BBM ini semrestinya dikurangi.
Dengan demikian, penghematan anggaran tersebut bisa dialihkan untuk kegiatan ekonomi produktif. Minimal, untuk pembangunan sarana infrastruktur yang merupakan komponen penting penunjang kegiatan ekonomi produktif.
Selain itu juga bisa diarahkan untuk kegiatan atau program pengembangan sumberdaya manusia. Mulai dari pendidikan, kesehatan, peningkatan konsumsi gizi, dan sebagainya. Itulah beberapa aspek yang bisa merawat eksistensi dan jatidiri Indonesia sebagai sebuah negara dan dan bangsa.
Sebagai pelaku industri angkutan umum, saya mulai melihat persoalan ini dalam kacamata penghematan BBM, pemanfaatan jalan raya secara efektif yang berarti mengurai kemacetan dan pemborosan BBM, serta sekaligus memasyarakatkan angkutan umum. Di situlah, perlunya revitalisasi angkutan umum dalam hal ini bus.
Mengapa bus? Fakta empiris membuktikan sejak beberapa puluh dekade, angkutan ini telah dikenal dan digemariberbagai lapisan masyarakat. Kedua, tidak semua daerah yang dituju anggota masyarakat saat bepergian bisa diakses menggunakan angkutan udara, kereta api, atau bahkan kapal laut.
Hanya memang, pamor angkutan umum ini di mata masyarakat tak semoncer dulu. Dengan berbagai tudingan dan alasan yang menyebut layanan angkutan bus tidak nyaman, lambat dalam perjalanan, hingga tarif yang mahal.
Jika kita berdiskusi topik-topik tersebut akan berlangsung debat kusir karena seperti ibarat membicarakan duluan mana antara telur dan ayam. Sebuah lingkaran setan. Tapi mari kita putus lingkaran tersebut untuk memulai mengurai persoalan.
Memang, tidak dimungkiri dan harus jujur diakui ada sebagian angkutan bus yang layanannya tak bagus. Namun, harus juga diakui tak sedikit pula operator bus atau Perusahaan Otobus (PO) yang menyajikan layanan bagus, hingga sangat bagus. Jadi, intinya, mari melihat masalah ini secara proporsional.
Dan yang pasti, bicara soal revitalisasi angkutan bus, pemerintah dan semua stake holder yang berkepentingan dengan upaya menggenjot perekonomian, menghemat anggaran, dan mengurai kemacetan jalanan, maupun pemasyarakatan angkutan umum massal, harus melihat persoalan dan tantangan yang membelit para PO di Tanah Air. Saya melihat ada beberapa hal.
Pertama, minim atau bahkan tidak adanya keberpihakan pemerintah dan stakeholder angkutan dan jalan kepada angkutan bus. Ini bisa dilihat dari sejumlah fakta yang kerap kita temui di masyarakat atau di depan mata kita.
Misalnya, dalam pemberitaan dan statemen pejabat pemerintah ketika bicara soal bus yang diungkapkan hanya sisi buruk angkutan bus. Porsi ketidaklayakan untuk perjalanan yang besarlah, ketidak efisienanlah, dan sebagainya tanpa melihat akar masalahnya. Mencermati hubungan kausalitas antara penyebab dan fakta yang terjadi itu.
Oke. Jika itu persoalannya, mari kita telisik akar masalahnya. Sebagai pengusaha, tentu para pemilik PO ingin menggaet konsumen sebanyak-banyaknya dengan layanan yang bagus. Tapi, apa yang terjadi di lapangan?
Kondisi infrastuktur jalan yang tidak bagus – di jalur tertentu di Suamtera kerap longsor dan macet , begitu pun di jalur Jakarta hingga Jawa Timur yang kerap macet – telah menjadi biaya operasional bus membengkak.
Padahal penyebab itu semua terjadi di luar batas kemampuan pengusaha PO, yakni karena volume kendaraan yang melintasi tak sepadan dengan panjang jalanan. Atau perawatan jalan dan lingkungan sekitarnya kurang oleh pihak berwenang setempat atau pusat sehingga menyebabkan longsor.
Selain itu, gangguan berupa pelemparan kaca bus oleh oknum tak bertanggung jawab ketika bus dalam perjalanan, namun hingga kini tidak ada penindakan serius dari pemerintah. Akibatnya, kerugian harus ditanggung pemilik PO.
Padahal, investasi usaha angkutan bus tidaklah kecil. Hingga saat ini tingkat suku bunga kredit untuk kendaraan komersial termasuk bus dirasakan masih sangat tinggi. Terlebih jika dibanding dengan sukubunga yang ada di negara-negara lain, terutama Asia Tenggara. Saat ini tingkat suku bunga di Tanah Air mencapai 12-16% dengan tenor 5 tahun.
Semestinya, karena bus merupakan modal kerja atau ekonomi produktif, pemerintah melihat hal ini. Terlebih, jika konteksnya adalah revitalisasi angkutan umum untuk mengalihkan konsumsi BBM ke penghematan dan menggenjot pertumbuhan ekonomi maupun meredusir kemacetan.
Selain bunga kredit, beban pajak yang harus ditanggung pengusaha setelah mendapatkan bus juga tinggi. Sebab, selain pajak bodi, AC, Sasis, juga ada pajak kendaraan bermotor. Pajak yang bertubi-tubi itulah yang menjadikan besaran investasi kumulatif menjadi tinggi.
Belum lagi bicara soal perawatan. Suku cadang dan komponen bus dirasakan masih mahal. Ban radial misalnya, kebanyakan masih diimpor. Sehingga masih mahal, terlebih adanya biaya tambahan untuk melabeli produk itu dengan Standar Nasional Indonesia.
Kendala dan persoalan penting yang tak kalah besarnya adalah pengelolaan dan penajaman konsep pengelolaan terminal tipe A, atau terminal bagi bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP). Sudah semestinya pengelolaannya haruslah integratif dan disertai fasilitas kegiatan ekonomi modern dengan penyediaan sarana dan prasarana kegiatan ekonomi produktif modern.
Di terminal, penumpang yang ingin melanjutkan perjalanan dengan moda transportasi lain seperti pesawat, kereta api, atau kapal. Tak perlu pindah ke tempat lain yang menyedot waktu, energy dan biaya. Tapi cukup di terminal itu karena sarana angkutan terintegrasi.
Di sinilah perlunya penanganan oleh otoritas yang memiliki jangkauan nasional dan lebih besar yakni pemerintah pusat. Kalaupun ada porsi pemerintah daerah atau institusi lain sebaiknya diperkuat fungsi koordinatif. Terminal juga harus bersih, tidak semrawut. Bebas dari preman dan kriminilitas.
Terlebih, jika janji pemerintah untuk memberikan subsidi bagi angkutan bus kelas PATAS ke bawah melalui Public Service Obligation (PSO) beanr-benar terwujud. Maka, tariff pun akan lebih terjangkau semua kalangan.
Jika semua hal-hal diatas terwujud, maka mewujudkan angkutan bus yang nyaman, aman,terjangkau akan dengan mudah terwujud. Sebab, para pengusaha PO sendiri memiliki komitmen yang sangat tinggi untuk berbenah diri.
Tentu, mereka tak ingin mati atau bunuh diri di tengah persaingan yang semakin ketat – baik dengan sesama bus maupun moda lain – dengan tak berinovasi.
Tapi yang pasti, dengan merevitalisasi angkutan bus kita berarti telah merawat Indonesia, baik sebagai negara maupun bangsa.
*Tulisan ini disarikan dari wawancara dengan Kurnia Lesani Adnan, Direktur Utama PO Siliwangi Antar Nusa (SAN) yang juga Ketua Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI).