Penyandang Cacat Gagal Naik Bus, Kasus Berujung ke Mahkamah Agung

Doug Paulley mengajukan gugatan hukum agar operator bus menyediakan ruang bagi pengguna kursi roda - BBC

London – Seorang penyandang disabilitas menggugat operator bus First Group karena dinilai tidak menjamin ketersediaan ruang bagi pengguna kursi roda di busnya. Awalnya, dia memenangi gugatan tersebut namun saat di pengadilan tinggi dia kalah dan banding, dan kini kasusnya bergulir ke Mahkamah Agung.

Sejumlah media lokal melaporkan, adalah Doug Paulley yang melayangkan gugatan tersebut. Gugatan itu ia layangkan, sebab pada tahun 2012 dia tak bisa naik bus karena seorang wanita yang berada di kursi yang bisa dilipat ogah berpindah dan memberikan tempat bagi kursi roda Paulley.

Read More

Walhasil, Paulley yang hendak pergi ke Leeds harus mengurungkan niatnya. Dia menilai operator bus gagal menjamin hak –hak para penyandang cacat dan bertindak diskriminatif.

Buntutnya, dia menggugat ke pengadilan negeri setempat, dan memenangkannya. First Group harus membayar kompensasi senilai 5.500 poundsterling. Operator bus itu juga diberi waktu enam bulan untuk membuat kebijakan yang menghimbau orang berbadan normal untuk mengosongkan ruang bagi orang yang berkursi roda.

Hanya, keputusan pengadilan itu berbalik ketika operator melakukan banding di pengadilan tinggi. Gugatan Paulley kalah. Tapi dia tak berhenti begitu saja. Kini setelah empat tahun berjuang, dia bertekad memenangkan gugatan itu dengan banding ke Mahkamah Agung.

Ilustrasi, Paulley saat ingin masuk ke sebuah bus-BBC
Ilustrasi, Paulley saat ingin masuk ke sebuah bus-BBC

Lembaga hukum tertinggi di Inggris itu rencananya akan menyidangkan kasus tersebut beberapa bulan mendatang. “Ini (gugatan ini) adalah tentang penyesuaian yang wajar bahwa perusahaan (operator bus) harus membuat agar orang cacat dapat memiliki akses ke hal-hal yang juga diberikan kepada orang lain dalam masyarakat,” tuturnya kepada BBC.

Sebab, lanjut dia, berdasar Undang-Undang Kesetaraan Tahun 2010, perusahaan yang menyediakan jasa harus membuat penyesuaian yang wajar untuk mengakomodasi orang cacat.

Chris Fry, Pengacara dari Unity Law yang mendampingi Paulley mengatakan, kasus ini dianggap senstif dan penting oleh hakim. “(Terbukti) Sebuah panel dengan tujuh hakim Mahkamah Agung luar biasa, ini merupakan refleksi tentang pentingnya kasus ini,” ucapnya.

Ia berharap pengadilan akan membuat keputusan yang benar secara legal dan moral dalam mendukung inklusi sosial bagi penyandang cacat.

Menanggapi gugatan tersebut, Managing Director First Group mengatakan, sangatlah jarang seorang penumpang untuk menolak berpindah kala diminta untuk memberi kesempatan kepada penyandang cacat.

“Para sopir bus kami akan memohon dengan sangat kepada penumpang untuk memberi kesempatan (orang cacat). Kami berusaha (meminta) dengan cara-cara yang sangat bijak. Dan kami melatih mereka (sopir) untuk melakukannya seperti itu,” kata dia.

Jika orang-orang menolak memberi kesempatan kepada orang cacat, merupakan hal yang luar biasa. “Tetapi kami percaya, dengan kami melakukan cara-cara pendekatan yang bijaksana dan sopan sesuai dengan norma yang berlaku,’ imbuhnya.

Sementara beberapa waktu lalu, panel Mahkamah Agung meminta masukan dari beberapa penyandang disabilitas dan lanjut usia di London tentang layanan bus.

“Setiap aku naik ke bus, aku harus stres dan berusaha sekuat tenaga berdebat adu urat dengan sopir dan penumpang lain. Bagi mereka, mungkin aku dianggap menghambat (perjalanan) karena lambat saat berusaha masuk ke kabin. Tapi, aku juga berusaha untuk mengambil gambar pelat nomor bus dengan kamera ponselku,” ucap Jeff Harvey,seorang penyandang disabilitas. (Ara/Berbagai sumber).

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *