Jakarta – Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan RI berniat menerapkan aturan baru soal pembatasan usia bus, yakni maksimal 25 tahun untuk bus regular dan 10 tahun untuk bus pariwisata demi mengumatakan aspek keselamatan. Lantas bagaimana tanggapan pengusaha dan pengguna bus?
Direktur Utama Perusahaan Otobus (PO) Gunung Harta, I Gede Yoyok Santoso misalnya, menyebut aturan itu belum bisa dengan serta merta diterapkan begitu saja. Masih butuh waktu baik bagi pengusaha maupun pemerintah untuk saling instropeksi dan memperbaiki berbagai kondisi yang ada.
“Masih butuh waktu. Karena membutuhkan proses lagi (pembenahan di sistem kerja pengujian aparat dan pengelolaan bus oleh pengusaha). Apalagi, dengan melihat beban ekstra (ekonomi biaya tinggi) pengusaha angkutan, waktu balik modal investasi lama,” tutur Yoyok kepada Otoniaga, kemarin.
Pernyataan serupa diungkapkan Ketua Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI) Kurnia Lesani Adnan. Menurutnya, sebelum pemerintah benar-benar memberlakukan aturan itu, sebaiknya melihat dan mencermati faktor utama penyebab bus tidak aman dan nyaman.
Sebab, sejatinya para pemilik PO selalu menekankan perlunya perawatan dan pengecekan armadanya sebelum diperasikan. Jika terjadi kerusakan kemudian dipaksakan tetap digunakan, bukan hanya pemborosan karena bila terjadi kerusakan di perjalanan biayanya lebih mahal, tetapi juga menyangkut keamanan.
“Tetapi kenapa kemudian operator (PO) tetap menjalankan bus hingga masa pakai yang lama (usia bus hingga lama), karena investasinya mahal. Oleh karena itu, sebelum bicara soal kapan penerapan aturan itu, sebaiknya pemerintah bisa mengakomodir fasilitas bagi operator untuk berinvestasi guna merevitalisasi armadanya,” papar Direktur Utama PO Siliwangi Antar Nusa (SAN) itu.
Fasilitas yang dimaksud Sani adalah bagaimana menjembatani antara operator selaku perusahaan dengan lembaga keuangan baik bank maupun non bank untuk mendapatkan bunga yang lebih rendah dari yang dikenakan bagi pembelian bus. Rata-rata bunga bank yang dipatok oleh bank maupun leasing saat ini 14-16%. Bahkan ada yang 18%.
Terlebih, sejak beberapa waktu lalu Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter telah menurunkan su bunga acuan (BI Rate) hingga 75 basis poin. Artinya, ada ruang bagi lembaga keuangan khususnya bank untuk mengerek turun suku bunga pembiayaan.
“Yang kedua, soal pajak, Jangan operator diperberat dengan berbagai pajak, ada pajak chassis, AC, Body, bea balik nama, dan lainnya. Semua itu menjadikan faktor lain yang membuat operator enggan untuk melakukan revitalisasi armada. Apalagi, bicara soal batasan umur, belum tentu bisa jadikan patokan, karena tergantung perawatan,” papar Sani.
Sani juga mempersoalkan penegakan hukum oleh aparat dalam operasional angkutan bus ini, Dalam uji KIR kendaraan misalnya, juga harus dilakukan sesuai dengan realita dan bukan sekadar sarana untuk mendapatkan pendapatan bagi pemerintah.
Begitu pun dengan sarana infrastruktur terutama jalan, sebab burukanya infrastruktur juga berkontribusi mempercepat keausan bagian-bagian bus. “Dengan kata lain, kami juga minta adanya law enforcement, hukum dan aturan benar-benar ditegakan,” kata Sani.
Soal penegakan hukum itu diamini panasehat komunitas Bismania, Harsono. Dia menyebut pemerintah sebaiknya memperkuat penegakan hukum dalam uji KIR tersebut. “Uji KIR selama ini hanya sebagai sarana untuk memdapatkan surat saja, diperkuat menjadi syarat mutlak kendaraan layak jalan atau tidak,” ungkapnya kepada Otoniaga.
Menurutnya, jika aturan pembatasan usia bus diberlakukan – dalam kondisi seperti sekarang – maka akan hanya memberatkan dan mempersulit pengusaha. Usia, kata dia, tak menjadi patokan mutlak untuk menilai ketidaklayakan sebuah bus. Sebab, aspek keamanan dan kenyamanan juga sangat tergantung perawatan.
Dia mencontohkan saat pertama kali naik bus PO Raya rute Solo – Jakarta tahun 1987. “Saat ini dengan bus yang sama (sudah berusia 29 tahun), dengan karoseri body yang sudah diperbarui, dan melayani trayek yang sama, ternyata masih mampu bersaing dan tidak kalah dengan bus-bus baru dengan fasilitas wah,” kata dia.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Kemenhub, Pudji Hartanto Iskandar mengatakan, pemerintah akan membatasi usia pakai bus yakni maksimal 25 tahun untuk bus regular dan 10 tahun untuk bus pariwisata.
“Usia pakai kita batasi agar PO menjadi lebih efisien dan aspek keselamatan menjadi lebih diperhatikan. Bus umum juga wajib pakai AC agar nyaman,” paparnya saat berbicara di forum MarkPlus Center : Transportation and Logisctics akhir pekan lalu di Jakarta.
Dia menyebut ide penerapan aturan itu adalah untuk menjalankan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan dan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan. Beleid itu menekankan aspek manajemen keselamatan angkutan umum di jalan raya.
“Kalau kita bahas masalah bus atau bus umum, kondisinya saat ini kan menurun terus. Tidak memenuhi target (standar keselamatan). Sekitar 70 persen saja (yang memenuhi standar keselamatan),” tuturnya. (Ara)
Pemerintah dlm hal ini dirjen hubda,tdk asal membuat kebijaksanaan tanpa memikirkan efek samping dari aturan tsb. Bagaimana kalau bus wisata dibatasi 10 th, siapa yg mau investasi di sana, krn dgn dp 25% baru bisa beo sktr 10 thn dgn harga bus sekarang. Sarana transportasi dari utk wisata pasti akan berkurang banyak krn aturan.padahal dunia wisata skrg sedang gencar di galakkan.dan ini pasti akan tdk bisa mensukseskan keinginan pemerintah mentargetkan 20 jt wisman, menghentikan 75,% wisnu. Hal ini belum variabel lain yg perlu didiskusikan secara matang .mohon pak dirjen tdk ego sektoral masih banyak pr anda diluar itu. ( drs h bambang riatmojo, dprd dan penasehat asita jateng).