Jakarta – Kalangan pengusaha berkeberatan dengan kebijakan pemerintah yang melarang truk bersumbu lebih dari 2 untuk beroperasi menjelang dan selama Idul Adha, karena mendadak. Bahkan, mereka mengaku merugi hingga triliunan rupiah.
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi S Lukman, misalnya menyatakan kekecewaannya kepada pemerintah. “Ini (pemberitahuan larangan operasi) sangat mendadak. Pengecualiannya (truk boleh beroperasi) hanya (untuk mengangkut) bahan pokok (pangan). Sedangkan GAPMMI (mendistribusikan) bahan pangan olahan. Kejadian ini sangat merugikan ekonomi Indonesia,” papar Adhi kepada Otoniaga, di Jakarta, Kamis (8/9).
Menurutnya, organisasi yang dia pimpin telah meminta aturan tersebut dibatalkan. Selain itu, mereka juga mereka juga meminta agar pada liburan panjang di tahun depan diatur lebih awal, sehingga member kesempatan kepada pengusaha untuk melakukan antisipasi.
“Kami (sekarang) tidak ada persiapan sama sekali. Beda dengan lebaran (Idul Fitri kemarin) yang memang sudah siap,” ucap Adhi.
Soal potensi kerugian, Adhi memberi ancang-ancang, saban tahun omset industri makanan dan minuman nasional mencapai Rp 1.300 triliun. Artinya, rata-rata saban harinya, omset industri ini mencapai Rp 4 triliun.
Artinya, dengan larangan operasi truk selama 4 hari berpengaruh terhadap setengah dari industri, maka kerugiannya mencapai Rp 16 triliun. “Taruhlah dengan asumsi 50 persennya saja yang terhambat (distribusinya), bisa dihitung potential loss-nya,” kata dia.
Padahal, kontribusi industri makanan dan minuman terhadap produk domestic bruto (PDB) sektor industri non migas mencapai 33%. Dengan melihat kontribusi itu, maka jika industri ini terhambat, pengaruhnya terhadap perekonomian nasional juga cukup signifikan.
Suara keberatan karena pemberitahuan yang mendadak, juga dilontarkan Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), Zaldy Masita. “Dampaknya sangat besar, karena pemberitahuannya sangat mendadak. Banyak truk yang tidak beroperasi gara-gara aturan ini. Kerugian bisa mencapai Rp 100 miliar lebih (dalam empat hari),” paparnya melalui pesan singkat.
Dia meminta agar pemerintah memperhatikan kepentingan pengusaha dan masyarakat. Pasalnya, dengan terhambatnya angkutan, maka biaya logistik akan naik secara tidak langsung. Ujung-ujungnya masyarakat yang akan menanggung karena harga barang naik.
“Lain kali, kalau mau ada larangan seperti itu, minimal sebulan sebelumnya diinformasikan. Jangan seperti sekarang (tanggal 2 baru diinformasikan atau seminggu sebelum pelaksanaan), ujarnya.
Setijadi, Chairman Supply Chain Indonesia – sebuah lembaga pengkajian dan konsultansi bidang supply chain dan logistik – mengaku bisa memahami jika kalangan pelaku usaha berkeberatan dengan aturan dari pemerintah tersebut. Pasalnya, kata dia, dengan pemberitahuan yang mendadak tersebut, para pengusaha harus tergopoh-gopoh dan bahkan tidak siap melakukan penyetokan barang.
“Adanya larangan itu, maka pengurangan frekwensi pengiriman barang memaksa pemilik barang (perusahaan manufaktur, retailer, dan sebagainya) harus meningkatkan volume persediaan atau stok barang. Sehingga, biaya penyimpanan barang akan meningkat. Selain itu kontinuitas produksi juga terganggu,” paparnya kepada Otoniaga.
Memang, para pelaku usaha sudah sebisa mungkin melakukan antisipasi baik menghadapi aturan larangan itu maupun antisipasi seperti di hari normal. Meski begitu, dampak penambahan biaya tetap terjadi. Terlebih dilakukan dalam waktu yang mendesak karena pemberitahuan secara mendadak.
Oleh karena itu, lanjut Setijadi, pihaknya member rekomendasi kepada pemerintah, untuk jangka menengah agar meningkatkan kapasitas infrastruktur transportasi. Kedua, pengembangan transportasi multimoda. “Dan yang tidak kalah penting adalah sosialisasi peraturan jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan,” ucapnya.
Sebelumnya, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan menerbitkan Surat Edaran Nomor SE.15/AJ.201/DRJD/2016. Isi surat itu adalah, melarang angkutan truk bersumbu lebih dari 2 untuk beroperasi menjelang dan selama libur Hari Raya Idul Adha, 9 – 12 September.
Surat yang diteken Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Pudji Hartanto Iskandar itu, kemudian diedarkan melalui surat pengantar yang tertanggal 2 September. Artinya, surat itu baru diedarkan seminggu sebelum hari pelaksanaan. (Ara)