Jakarta – Angkutan Lingkungan roda tiga (Bajai) dipastikan tidak akan tergusur atau hilang dari peredaran di Ibukota. Sebab sebagai angkutan lingkungan kendaraan ini masih diminati dan dibutuhkan, bahkan memiliki dasar hukum yang kuat.
Ketua Institute Transportasi Indonesia (Instran) Darmaningtyas mengatakan,Perda DKI Jakarta Nomor 4 tahun 2014 pasal 8 menyebutkan, angkutan lingkungan adalah sepeda motor/roda tiga tanpa rumah. “Dengan demikian dasar hukum angkutan lingkungan atau angkutan roda tiga itu sangat kuat. Jadi tidak ada masalah apapun dengan ketentuan peraturan daerah yang ada,” ujarnya dalam diskusi bertajuk Menata Transportasi Jakarta, Menelisik Peran Angkutan Lingkungan, Studi Kasus Angkutan Roda Tiga, di Jakarta, Kamis (15/9).
Menurutnya, permintaan terhadap jasa angkutan roda tiga masih cukup tinggi. Terbukti jumlah angkutan roda tiga saat ini masih sebanyak 14.000. Bahkan, nilai setoran setiap harinya masih mencapai Rp 120.000 – Rp 160.000.
“Karena angkutan ini dibutuhkan ibu-ibu ketika berbelanja ke pasar, anak – anak sekolah, orang yang berpergian dalam jarak dekat, dan lain-lain,” kata Darmaningtyas.
Jika aturan fungsi atau peran ditegakkan, lanjutnya, termasuk angkutan lingkungan dan angkutan kota di jalankan, maka kesemerawutan lalu-lintas di Ibukota juga akan lebih terurai. Sebab, setiap moda akan berfungsi dan dimanfaatkan secara baik dan benar.
Kondisi lalu-lintas Jakarta saat ini, kata dia, sudah penuh sesak dengan tingkat kemacetan yang akut. Sehingga, jika ada upaya untuk mengganti angkutan lingkungan roda tiga dengan roda empat, hal itu sama saja menambah tingkat kemacetan. “Sebab, secara dimensi angkutan roda empat lebih besar. Padahal, angkutan lingkungan ini beroperasi di areal aatau eilayah yang kecil, di jalanan yang lebih sempit. Kalau roda empat, selain dimensinya besar, juga akan menjadi angkutan umum. Jadi, itu berbeda,” paparnya.
Pernyataan senada diungkapkan oleh wartawan senior, Anton Chrisbianto.
Dia menyebut, jumlah orang yang memanfaatkan angkutan di Jakarta dari sekitarnya (Bodetabek) dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Jika pada tahun 2010 jumlah orang memanfaatkan angkutan menuju Jakarta masih 21,5 juta orang. Namun, pada tahun 2015 jumlah tersebut telah mencapai 47,5 juta orang.
“Dengan meningkatnya jumlah orang yang berlalu lintas di Jakarta maka kemacetan semakin parah. Sehingga kerugian ekonomis yang ditimbulkan semakin meningkat. Kerugian akibat pemanfaatan BBM yang sia-sia mencapai Rp 42,5 Triliun sedangkan kerugian kesehatan, waktu produktif yang percuma, dan pencemaran udara mencapai 15 triliun”, ujar Anton Chrisbianto.
Oleh karena itu, seperti halnya Dharmaningtyas, Anton mendesak pemerintah untuk secara tegas dan konsisten menjalankan pemetaan fungsi masing-masing moda transportasi. Dia menyebut angkutan lingkungan roda tiga misalnya tetap dipertahankan, namun mengatur area peredarannya agar tidak tumpang tindih dengan moda transportasi lain.
Dia berharap pemerintah tak menggantikannya dengan angkutan yang berukuran lebih besar. Sebab, hal itu justru bukan menjadi jalan keluar dari penataan lalu-lintas di DKI Jakarta yang terus dihadapkan pada persoalan kemacetan.
Hanya memang baik Anton maupun Dharmaningtyas meminta operator angkutan roda tiga untuk melakukan perubahan demi menuju peningkatan bisnis maupun untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan konsumen. Dengan mendirikan badan hukum misalnya pengelola angkutan ini, akan lebih mudah mengajukan kredit ke bank ketika melakukan peremajaan armada.
Langkah lainnya adalah dengan melakukan peremajaan armada yang sesuai dengan prinsip ramah lingkungan. Wujudnya mengganti angkutan roda tiga berbahan bakar minyak dengan model yang berbahan bakar gas alam. (Ara)