Jakarta – Pengusaha angkutan truk meminta pemerintah pusat untuk segera menganulir atau membatalkan Peraturan Daerah (Perda) tentang perizinan truk yang melintas di wilayahnya. Selain tak sinkron antara satu daerah dengan daerah lain, aturan yang bertentangan dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 2009, juga menjadikan biaya perjalanan membengkak.
“Serangkaian fakta yang berkaitan dengan Perda-Perda itu merupakan kejadian yang kami rasakan setiap hari hingga saat ini. Antara satu daerah dengan daerah lain aturannya tidak sinkron, sehingga membingungkan. Yang satu memperbolehkan satu tidak. Satu (daerah) ada ketentuan A, di daerah lain tidak. Selain tidak standar sehingga membuat pengusaha angkutan juga terombang-ambing. Dan ujung-ujungnya bisa menjadi ‘lahan’ pungutan liar oleh oknum,” papar Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo), Gemilang Tarigan melalui sambungan telepon kepada Otoniaga, Selasa (27/9).
Dia member contoh di satu daerah di Jawa ada aturan yang mewajibkan truk yang melintas menunjukkan Izin Bongkar Muat (IBM), sementara daerah lain tidak. Kemudian ada daerah yang minta ditunjukkan Kartu Izin Usaha (KIU).
Begitu pun dengan standar toleransi kelebihan muatan yang antara satu daerah dengan daerah lain yang berbeda-beda. Belum lagi standar penghitungan kelebihan muatan tersebut.
Akibatnya, lanjut Gemilang, kelancaran arus distribusi barang yang notabene adalah milik konsumen pengguna jasa angkutan truk juga terganggu. Padahal tidak sedikit dari mereka adalah industri manufaktur, perusahaan pengolahan skala kecil dan menengah, bahkan konsumen pengguna langsung dari barang yang didistribusikan.
Bagi kalangan industri fakta ini menjadikan daya saing produknya di pasar bakal jeblok. Sebab, bahan baku miliknya yang diangkut oleh truk kerap telat karena harus banyak berurusan dengan petugas di jalan.
“Bahkan kalau dihitung-hitung, antara ongkos yang harus mereka keluarkan untuk mengangkut bahan baku, setara dengan harga bahan baku itu. Artinya, dalam struktur biaya produk ongkos produksi membengkak. Muaranya, harga jual produk juga melejit atau lebih mahal. Artinya daya saing mereka jeblok,” ujar Gemilang.
Padahal, kata dia, Perda-Perda yang menjadi dasar legalitas untuk meraup pendapatan asli daerah itu bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi, yakni Undang-undang Nomor 22 tahun 20019 tentang Lalu-lintas dan Angkutan Jalan. Dia menyebut di beleid tersebut ditegaskan tidak ada perizinan khusus bagi truk-truk yang melintas di suatu wilayah ke wilayah lain.
Permasalahan kedua yang juga menyulitkan angkutan truk dan industri pengguna jasanya adalah, belum tersambungnya infrastruktur jalan dengan jalan-jalan menuju kawasan industri dan pelabuhan.
Walhasil, angkutan truk kerap menghadapi masalah karena harus berurusan dengan aparat atau petugas di jalan karena dinilai melanggar ketentuan soal kapasitas muatan dengan daya dukung maksimal jalan.
Sementara, truk-truk seringkali harus melintasi jalan kelas dua dan tiga di suatu wilayah. Sedangkan ketentuan yang mengatur angkutan truk melintas menggunakan perhitungan berdasar Muatan Sumbu Terberat (MST), yakni jalan kelas satu truk dengan berat kotor 8 ton lebih boleh melintas, kelas II dan tiga masing-masing 8 dan 6 ton.
“Oleh karena itu, kemajuan yang sudah ditunjukkan oleh pemerintah dengan membangun jalan Trans Sumatera dan Trans Jawa, sebaiknya juga dilengkapi dengan jalan-jalan sirip ikan yakni jalan-jalan penghubung antara pelabuhan – jalan tol – hingga jalan menuju kawasan industri dan sebaliknya,” kata Gemilang.
Jika dua masalah tersebut bisa diatasi, maka bukan hanya daya saing produk industri Indonesia saja yang meningkat, tetapi roda perekonomian nasional kian cepat bergerak. Bahkan masyarakat selaku konsumen akhir juga akan menikmatinya.
“Karena jalan raya adalah urat nadi, dan truk yang membawa barang mulai dari bahan baku industri sampai barang-barang konsumsi adalah darah bagi pergerakan ekonomi,” imbuhnya.
Hari ini, Selasa (27/9), kalangan pengusaha kembali akan menyampaikan permohonan dan usulan kepada Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman. Tempat pembahasan dilakukan di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam), karena Menko Kemaritiman saat ini masih dirangkap oleh Menko Polhukam’ Luhut Binsar Panjaitan.
Usulan dan permohonan tersebut diklaim telah beberapa kali dilayangkan ke pemerintah. (Ara)