Selain faktor permintaan komoditas perkebunan dan pertambangan yang masih rendah, konsumsi dalam negeri juga masih lemot. Agus menyebut, akselerasi belanja modal dari pemerintah ternyata masih belum mampu melecut perlambatan ekonomi terjadi karena masih terbatasnya pertumbuhan konsumsi pemerintah dan investasi swasta.
“Meskipun pertumbuhan ekonomi masih cukup kuat tetapi pertumbuhan konsumsi domestik masih belum terjadi peningkatan yang baik dan investasi pemerintah masih menunjukkan kondisi yang belum kuat,” ucapnya.
Salah seorang sumber di Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mengaku, pihaknya secara kelembagaan belum akan mengeluarkan kebijakan soal proyeksi penjualan. Menurutnya, Gaikindo masih akan melihat situasi hingga akhir kuartal kedua.
“Proyeksi sepertinya sampai saat ini masih tetap. Memang, sepanjang kuartal pertama kemarin penjualan kendaraan komersial turun 32 persen dibanding periode sama tahun lalu,” ujarnya saat dihubungi Otoniaga.
Data organisasi ini menunjukan, sepanjang Januari – Maret lalu penjualan kendaraan komersial hanya sebanyak 64.779 unit. Padahal, dalam rentang waktu yang sama tahun 2015 lalu penjualan masih sebanyaki 87.837 unit.
“Kita masih percaya kondisi akan membaik di semester kedua, karena program pembangunan infrastruktur akan berjalan secara massif di akhir kuartal ketiga. Memang, sekarang program sudah dicanangkan, tapi realisasi kurang kuat. Semestinya perlu stimulus fiskal lagi untuk sektor swasta,” paparnya.
Sebelumnya, Ipsos Business Consulting memperkirakan penjualan kendaraan niaga ringan atau gasoline light-duty truck (GLDT) masih memiliki prospek yang cukup moncer seiring meningkatnya tren kebutuhan angkutan dalam kota yang efisien.
Lembaga ini memprediksi permintaan GLDT tumbuh 4,6 persen pada 2020. Sedangkan segmen truk – sedang dan besar- diperkirakan hanya tumbuh 3,5 persen.
“GLDT menjadi segmen utama pertumbuhan karena kebutuhan untuk meningkatkan logistik dalam kota yang efisien semakin besar,” sebutnya.
Masih belum mencorongnya permintaan di segmen truk disebabkan oleh lanskap bisnis yang selalu berubah seperti sektor pertambangan dan logistik, khususnya masih loyonya harga komoditas. (Yja)