Jakarta – Sebuah berita yang ditulis media nasional cukup memantik perhatian semua kalangan di Tanah Air. “Kawasan ASEAN semakin tidak kompetitif,”. Begitulah kira-kira intisari dari artikel tersebut. Kekhawatiran dan keprihatinan menyeruak seketika melihat fakta itu.
Tapi, itulah keadaanya yang ada. Dalam daftar Global Competitiveness Report 2016/2017 yang dilansir World Economic Forum beberapa hari lalu itu terlihat peringkat daya saing Indonesia – yang masih rendah – semakin merosot. Jika pada tahun 2015/2016 lalu masih bertengger di posisi 37, kini merosot ke posisi 41.
Memang, jika kita mau menghibur diri, bisa saja mengatakan “Indonesia tak sendirian” di pusaran arus kemerosotan daya saing di wilayah Asia-Pasisik. Jepang misalnya dari posisi 6 menjadi 8, Hongkong dari 7 ke 9, Australia dari 21 ke 22, Thailand dari 32 ke 34, dan Malaysia dari 18 ke 25.
Namun, tentu tidaklah bijak kalau hanya mencoba menghibur diri. Ingat, persaingan semakin ketat. Era perdagangan bebas dengan segala aturan yang telah mempreteli berbagai instrumen hambatan arus barang dan jasa, menjadikan persaingan semakin sengit.
Artinya, jika tidak melakukan peningkatan daya saing baik dalam proses produksi, segala aktifitas pendukung produksi, hingga distribusi barang dan jasa yang menjadi komoditas perdagangan, maka janganlah heran jikalau nanti kita hanya menjadi penonton saja. Dan yang lebih miris kita akan menjadi bangsa tertinggal di kawasan regional atau bahkan global.
Kemampuan kita sebagai pemain aktif yang akan merebut kesempatan dan keuntungan dari semua kegiatan ekonomi tersebut akan sirna. Muaranya bisa diprediksi, kemampuan mewujudkan kesejahteraan bangsa dan negara akan sirna.
Daya saing adalah kata kunci. Tingginya daya saing bukan saja menjadi mantra tetapi juga senjata utama untuk memenangkan sebuah persaingan di era dunia yang seolah tanpa sekat sekarang ini.
Presiden Joko Widodo sendiri dalam setiap kesempatan terus menggemakan tekad untuk terus meningkatkan daya saing. Berbagai upaya pun dilakukan. Tapi, kalau melihat fakta yang ada saat ini – dimana peringkat daya saing Indonesia masih di tingkat yang rendah dan bahkan kini melorot – maka tidaklah cukup jika pemerintah hanya melakukan perbaikan.
Menyentuh pada esensi persoalan dengan segala daya dan upaya melakukan perombakan adalah condition sinquanone. Suatu keharusan. Kita harus menuju ke salah satu determinant factor dari persoalan daya saing ini, yakni infrastruktur jalan.
Kami di Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) menggarisbawahi perlunya perhatian dan prioritas kebijakan pada infrastruktur jalan. Sebab, sebuah rumusan pasti tak bisa ditawar lagi, yakni peningkatan kualitas jalan akan mendongkrak daya saing. Terlebih bagi Indonesia.
Sebab, fakta telah membuktikan, di negara yang pengiriman barangnya mayoritas komoditas primer – atau belum banyak value adding di dalamnya – seperti di Indonesia ini, komponen biaya logistik dan transportasi lebih tinggi ketimbang pengangkutan barang yang sudah jadi.
Sementara fakta lain yang juga tidak bisa dimungkiri adalah, 90% barang-barang atau komoditas primer itu diangkut melintasi jalur darat. Bahkan, di Jawa yang merupakan pusat kegiatan ekonomi produktif terbesar, 97% pengangkutan barang dan komoditas primer menggunakan truk.
Ironisnya, angkutan barang yakni truk harus menghadapi deret persoalan. Mulai dari pembatasan tonase muatan karena faktor daya dukung jalan yang tidak memadai, hingga berbagai aturan dan pungutan yang menjadikan ekonomi biaya tinggi.
Muatan truk dibatasi dengan acuan Muatan Sumbu Terberat (MST) untuk menetapkan Jumlah Beban yang Diizinkan (JIB). Padahal, dengan JBI yang kecil berarti pengangkutan barang memerlukan jumlah armada yang lebih banyak lagi.
Tambahan biaya untuk transportasi dan logistik pun akan terjadi. Akibatnya harga barang atau produk yang dihasilkan oleh industri manufaktur juga lebih mahal. Ujung-ujungnya, daya saing pun merosot.
Lantaran itulah, jika ingin memompa daya saing, kami merekomendasikan beberapa solusi yakni meningkatkan MST jalan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Dengan demikian, JBI truk bisa ditingkatkan.
Kedua, penarikan pengelolaan jembatan timbang dari daerah oleh pusat. Sebab, dengan cara tersebut akan data standarisasi yang akurat dan tetap, sehingga menghilangkan kemungkinan moral hazard oleh oknum-oknum tertentu.
Kepastian hukum – terutama aturan yang tumpang tindih dan kontraproduktif antara satu daerah dengan daerah lain dan bahkan dengan aturan yang lebih tinggi di pusat – serta penegakan pelaksanaan hukum musti dilakukan. Korelasi antara peningkatan MST dengan daya saing telah terbukti.
Di China dan India misalnya. Di Eropa MST telah mencapai 10 ton. Bahkan di Uni Emirat Arab, MST tidak terbatas. Sehingga daya saing mereka lebih tinggi.
Memang, ada pertanyaan bagaimana dengan biaya perawatan jalan karena truk yang melintas bermuatan lebih? Bagaimana dengan tekstur dan kontur tanah, apakah siap dengan muatan seperti itu?
Inilah tantangan setiap anak bangsa untuk melakukan berbagai inovasi dan kreatifitas guna menghadapi persoalan tersebut. Sebab pertanyaan dan persoalan yang sama juga dihadapi negara-negara lain.
Lebih dari itu, tidak sedikit anak-anak bangsa kita yang memiliki kemampuan untuk menjawab tantangan dan persoalan itu. Kuncinya adalah goodwill dan political will, tekad dan komitmen.
*Tulisan ini disarikan dari wawancara dengan Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo), Kyatmaja Lookman.