Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan mematok target : revisi peraturan tentang taksi berbasis aplikasi alias taksi online sudah kelar tahun ini. Dalam revisi itu disebut ada lima syarat bagi taksi online untuk menjadi angkutan resmi.
“Revisi tersebut meliputi lima syarat utama bagi taksi berbasis aplikasi atau online untuk menjadi angkutan resmiKelimanya, adalah pengemudi harus mengantongi SIM A umum, kendaraan yang dioperasionalkan harus diuji KIR. Kemudian yang ketiga, perusahaan harus memiliki pool dan bengkel. Keempat, STNK harus atas nama perusahaan bukan pribadi . Dan kelima, perusahaan harus berbadan hukum,” tutur Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Pudji Hartanto Iskandar usai diskusi bertajuk “Jalan Keluar Legalisasi Moda Transportasi Berbasis Aplikasi Online” di Jakarta, Rabu (19/10).
Namun, lanjut mantan Kakorlantas Polri itu, revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek atau menggunakan aplikasi online itu dilakukan tidak terburu-buru. Pihaknya masih akan mengajukan usulan syarat itu kepada para pemangku kepentingan angkutan termasuk asosiasi.
“Setelah itu kita minta masukan, kita bahas bersama. Kemudian kalau sudah rampung segera kita publikasikan. Karena kita tidak ingin terburu-buru, harus komprehensif,” ujarnya.
Menurut Pudji, perusahaan penyelenggara taksi online banyak yang keberatan jika syarat untuk mendapatkan SIM A umum harus memiliki SIM A satu tahun terlebih dahulu. Mereka minta syarat itu dipermudah.
Namun, pemerintah tidak bisa mengabulkan permintaan tersebut. Sebab, kata dia, hal itu menyangkut soal tanggungjawab terhadap aspek keselamatan penumpang maupun pengemudi.
Sedangkan untuk perubahan STNK dari pribadi ke perusahaan disepakati untuk member masa transisi hingga satu tahun. Jika lebih dari satu belum ada perubahan, maka pengemudi dan kendaraan yang digunakan sebagai armada akan dikenai sanksi.
Hanya, untuk masalah ini, Ditjen Hubdat Kemenhub juga masih melakukan koordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi. “Apakah kendaraan yang sudah beroperasi harus ditindak , dilarang aplikasinya, atau bagaimana? Nah itu yang kita bahas,” kata dia.
Adapun masukan lain yang juga tidak kalah penting adalah, soal batasan kapasitas mesin kendaraan yang digunakan sebagai armada. Sebelumnya, beredar kabar bahwa ada larangan kendaraan LCGC atau kendaraan yang bermesin 1.000 cc dilarang untuk digunakan, dan minimal bermesin 1.300 cc.
“Pihak penyelenggara taksi minta minimal mesinnya 1.000 cc saja. Ini juga kita bahas baik secara lisan maupun tertulis, tapi finalnya nanti,” ucap Pudji. (Ara/Ktb)