Pelaku Usaha : Regulasi di Sektor Logistik Harus Ditata Ulang

Jakarta – Upaya pemerintah untuk melakukan deregulasi di sektor logistik dalam rangka mewujudkan program sistem logistik nasional disambut baik kalangan pelaku usaha di bidang ini. Tak hanya regulasi di perjalanan saja yang perlu ‘dibongkar’ tetapi juga proses pengurusan barang di pelabuhan.

“Bicara soal proses kegiatan logistik, tentunya tidak hanya di perjalanan mengangkut barang dari pelabuhan ke tempat tujuan baik melalui jalur laut, udara, serta darat. Tapi, juga proses di hulu mulai dari pengurusan dokumen hingga sistem pembayaran,” tutur wartawan senior Hery Lazuardi, dalam diskusi bertajuk ‘Tantangan Menstimulus Industri Logistik dan Kendaraan Niaga di Indonesia’ yang digelar Forum Wartawan Otomotif dengan Tata Motor Distribusi Indonesia di Jakarta, kemarin.

Read More

Menurutnya, berbagai regulasi yang ada antara lain sistem pengurusan customs clearance (bea cukai), pengurusan Pemberitahuan Impor Barang/Ekspor Barang (PIB dan PEB), proses bongkar muat, amburadulnya tata ruang clustering kawasan industri yang terpencar-pencar, hingga banyak ketidaksinkronan peraturan antara satu daerah dengan daerah lainnya adalah kendala serius di bisnis sektor logistik.

img_1639

“Berbagai kendala ini, muaranya adalah proses kerja di industri logistik tersendat. Ujungnya biaya semakin mahal. Kalau biaya mahal, maka yang mendapat beban adalah masyarakat selaku konsumen,” kata dia saat ditemui usai acara diskusi.

Pernyataan senada diungkapkan oleh Wakil Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Freight Forwarders Indonesia (ALFI) Iman Gandi. Bahkan dia menyebut, kendala yang tidak kalah besarnya dihadapi oleh para pelaku industri sektor ini adalah masih kuatnya ego sektoral atau daerah.

“Ketidak sinkronan peraturan-peraturan di daerah, atau bahkan antar instansi adalah contoh nyata. Larangan overtonase adalah salah satu contohnya. Kebijakan mungkin bisa sama, misalnya satu daerah dan daerah lainnya juga menerapkan aturan larangan over tonase muatan. Tetapi, acuan penentuan beban muatan kendaraan ternyata berbeda dan kelas jalan yang dilalui juga berbeda, maka kendaraan yang lewat terkena sanksi kelebihan muatan. Padahal di daerah lain tidak. Nah hal-hal seperti inilah yang perlu dibenahi,” kata dia.

Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Bidang Distribusi dan Logistik, Kyatmaja Lookman yang hadir di diskusi itu mengami pernyataan Iman. Dia pun menyodorkan contoh ketidak sinkronan kebijakan antara satu daerah dengan daerah lainnya.

ytamaja Lookman, Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Bidang Distribusi dan Logistik
Kyatmaja Lookman, Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Bidang Distribusi dan Logistik

“Kendaraan, atau katakanlah truk baru, yang menetapkan uji tipenya kan pusat tas dasar spesifikasi yang ditetapkan oleh industri produsennya. Namun, untuk uji KIR kendaraan itu, diserahkan ke masing-masing daerah dimana truk baru itu berada,” ucap Kyat di sela acara.

Celakanya, lanjut dia, kalau truk itu di-KIR di daerah yang banyak jalan kelas I dan kapasitas muatan bisa 24.000 kilogram, kemudian melewati daerah yang banyak jalan kelas II dan III, dia akan kena sanksi overload. Ini terjadi karena beda kelas jalan yang menjadi acuan untuk KIR.

“Hal seperti itulah juga menjadi kendala. Karena yang namanya jembatan timbang itu, hanya mengukur muatan berdasar kapasitas jalan yang persis ada di depannya. Kalau melebihi standar kena sanksi. Akibatnya, biaya membengkak dan harga barang juga naik. Industri daya saingnya jadi rendah, masyarakat menanggung harga barang, inflasi juga bisa terkerek. Jadi, regulasi maupun kebijakan seperti ini harus ditata ulang,” paparnya.

Namun, menurut Kyat, faktor kendaraan dan operator kendara yakni sopir juga menjadi aspek penting dalam mewujudkan proses kerja di industri logistik. Kendaraan yang irit bahan bakar dan memiliki biaya operasional rendah menjadi kata kunci.

Sebab, kata dia, biaya bahan bakar porsinya mencapai 30% dari biaya operasional kendaraan logistik di darat. Sementara, bagi pelaku usaha, kendaraan yang bisa dioperasikan secara maksimal akan menghasilkan keuntungan yang besar.

“Ingat karena sebagian besar kendaraan dibeli secara kredit. Bunga kredit terus bergulir setiap hari, tidak mengenal truk dipakai atau menganggur. Karena itulah biaya operasional menjadi sangat penting diperhatikan,” ucapnya.

img_1668

Presiden Direktur PT TMDI, Biswadev Sengupta, menyebut apa yang diinginkan kalangan pelaku usaha sektor logistik sejatinya telah dijawab oleh pihaknya. Sebab, lanjutnya, kendaraan Tata Motors dirancang dengan mengutamakan aspek kekuatan, ketangguhan, sekaligus efisiensi.

Booth Tata Motors di GIIAS 2016
Booth Tata Motors di GIIAS 2016

“Kalau bicara endurance, kami bisa membuktikan. Sedangkan hasil pengujian beberapakali dan terus kami update, maupun pengakuan testimonial pengguna kendaraan kami, biaya operasional kendaraan kami 15% lebih irit dibanding kendaraan merek lain. Kami juga menyediakan varian yang lengkap mulai dari yang kecil Tata Super Ace, Tata Super Ace EX2 hingga yang besa, head tractor. Artinya, dari kaca mata industri, Tata Motors siap menstimulasi bisnis logistik di Indonesia dengan cara sebagai produsen kendaraan,” paparnya saat ditemui usai diskusi. (Ara)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *