Jakarta – Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dalam salah satu kampanyenya beberapa waktu lalu menyatakan tidak percaya terhadap isu global warming alias pemanasan global sebagai akibat kegiatan industri. Niatnya untuk memacu sektor industri negerinya itu, diyakini secara langsung maupun tidak akan memicu kenaikan harga batubara.
Salah seorang analis pasar berjangka komoditas, Agung Nugraha, menyebut, jika janji-janji Trump tersebut bisa bermakna ganda, khususnya dalam penggunaan sumber energi. Pertama, Trump akan menggunakan minyak bumi sebagai sumber energy industri.
“Tetapi untuk penggunaan minyak ini ongkosnya jauh lebih mahal. Sebab, negara-negara produsen dan pengekspor minyak yang tergabung dalam OPEC, kini juga terus berusaha mendongkrak harga jual minyak. Sejumlah pertemuan digelar untuk memangkas produksi guna menaikkan harga jual,” paparnya saat dihubungi Otoniaga, Senin (14/11).
Artinya, lanjut Agung, untuk menggunakan minyak bumi sebagai sumber energi memerlukan usaha yang ekstra keras. Sedangkan, jika Trump berusaha melakukan invasi ke Suriah dengan dalih memerangi kelompok ISIS dan kemudian merebut sumur minyak di negara itu, bukanlah perkara mudah.
Kelompok yang pro anti kebijakan agresif di dalam negeri Amerika Serikat juga akan melakukan perlawanan. Selain ongkosnya mahal, sikap agresif juga justru kontraproduktif dengan upaya menggenjot pertumbuhan ekonomi negara itu.
“Dalam situasi seperti itu pilihan menggunakan energy alternatif dan batubara menjadi pilihan. Hanya saja, untuk energy alternatif jumlahnya belum begitu banyak dan eksploitasinya belum massif. Di sinilah potensi dan peluang permintaan batubara bisa naik. Atau, jika saja Amerika atau dalam hal ini Trump tetap menggunakan minyak, maka harga minyak akan naik. Ujungnya, harga batubara juga akan naik,” terang Agung.
Pernyataan senada diungkapkan anggota Pertambangan Batubara Indonesia, Mohamad Kurniadi. Bahkan dia mengatakan, tren kelanjutan kenaikan harga batubara masih akan berlangsung. “Sebab, China yang merupakan konsumen dan produsen batubara terbesar masih mengerem produksinya. Tahun 2015 lalu, produksi China masih 50-60%. Tahun ini hingga 2017 bisa naik 70%,” ucapnya melalui pesan singkat.
Kebijakan pemerintah China yang menaikkan produksi selain untuk menghadapi musim dingin juga tak ingin terjadi bumerang atas kebijakan yang dibuat. Sebab, dengan harga batubara yang tinggi, maka tagihan listrik rumah tangga dan biaya energy industri akan naik. Walhasil, potensi ancaman terkereknya angka inflasi juga tinggi.
Selain itu, sejumlah pembangkit listrik di India dan Vietnam, dan bahkan proyek di dalam negeri juga menjadi potensi pasar yang besar bagi batubara. “Kalau sejak Juni harga batubara sudah naik. Bahkan dalam beberapa minggu terakhir harganya sudah menyentuh US$ 100 per ton. Kemungkinan besar hingga 3-4 tahun ke depan harga batubara bisa di kisaran US$ 60-70 per ton. Apalagi, jika benar Donald Trump akan menggenjot industri dalam negerinya, apakah butuh batubara atau minyak bumi untuk energinya, tetap saja batubara diuntungkan,” paparnya.
Lantas, akankah membaiknya harga si ‘Emas Hitam’ itu berdampak pada meningkatnya permintaan truk di Tanah Air? Secara teori, kata Kurniadi, akan terjadi kenaikan. Sebab, banyak perusahaan tambang akan kembali beroperasi dan yang sudah beroperasi akan meningkatkan produksinya.
“Entah mereka (perusahaan tambang) membelinya sendiri atau menyewa dari perusahaan rental, yang pasti permintaan kendaraan operasional tentu juga akan naik. Tapi, kita lihat saja yang ada di perusahaan (tambang maupun rental) nanti,” imbuhnya.
Sebelumnya, seperti dilansir New York Times, Trump berniat untuk ‘membatalkan’ kesepakatan tentang Iklim yang diteken oleh 190 negara di Paris, Prancis tahun lalu. Miliuner kelahiran 14 Juni 1946 itu tak percaya dengan isu global warming serta berniat membongkar peraturan Clean Power Plan, dan peraturan perubahan iklim dalam negeri.
Panitia pemilihan presiden Amerika Serikat, Rabu (9/11) dini hari waktu setempat, menyatakan calon presiden dari Partai Republik itu memenangi pemilihan dan menyingkirkan calon dari Partai Demokrat, Hillary Clinton. Dia berhasil meraup suara sebanyak 57.204.543 atau unggul tipis atas Hillary Clinton yang memperoleh 56 juta suara. (Ara)