Jakarta – Penegasan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bahwa hingga September mendatang tidak akan ada kenaikan harga solar meski subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis ini dipangkas dari Rp 1.000 menjadi Rp 350 per liter ditanggapi dingin sejumlah kalangan. Bagi mereka, yang terpenting adalah menyiapkan solusi jika suatu saat harga naik.
“Saya ini orang kecil, orang bodoh, yang enggak mengerti soal urusan negara, ekonomi. Yang penting bagaimana nanti kalau harga minyak dunia naik, terus (harga) solar juga naik. Lalu apa solusinya bagi kita-kita ini. Apakah tarif angkutan juga dinaikan? Kan enggak gampang menaikan ongkos angkutan. Itu aja dah komentarnya,” tutur Ubay, seorang pengemudi bus trayek Sumatera – Jawa, saat ditemui di Terminal Bus Poris, Kota Tangerang, Selasa (7/6).
Berbeda dengan Ubay, dua sopir truk asal Kudus Jawa Tengah, Polo 52 tahun dan Mamat 31 tahun, meski tak hirau dengan kabar itu, tapi mengaku senang jika harga solar naik. “Memang, kami sopir truk berbeda dengan sopir angkutan penumpang seperti bus atau angkutan kota dan microbus yang terikat dengan kebijakan tarif atau ongkos perjalanan penumpang. Kalau kita, ya malah senang kalau (harga) solar naik. Kita tinggal minta penyesuaian (dari pengguna jasa angkutan),” tutur Polo saat ditemui di pangkalan truk Pasar Induk Tanah Tinggi, Tangerang.
Pernyataan itu diamini Mamat. Menurutnya, posisi tawar angkutan truk memang kuat karena pengguna jasa angkutan bisa tak terlayani jika tak memenuhi permintaan sopir atau pemilik armada truk soal angkos jasa terkait kenaikan harga solar.
“Ya kalau dipikir-pikir, ujung-ujungnya yang terkena dampak kenaikan harga (solar) ya tetap masyarakat sih. Karena pedagang (sayuran, buah, atau barang lainnya yang menggunakan truk) akan membebankan kenaikan ongkos ke pembeli (konsumen). Gitu saja sih,” papar Mamat.
Sebelumnya, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian ESDM Sujatmiko di Jakarta, Senin (6/6) mengatakan, pemangkasan besaran subsidi solar itu akan dibahas dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2016 dengan DPR.
Menurutnya, pemangkasan subsidi tersebut tidak berpengaruh terhadap harga jual solar – yang saat ini sebesar Rp 5.150 per liter – karena harga yang ada sekarang masih di bawah harga keekonomian. Terutama, jika melihat asumsi harga minyak dunia yang masih anteng di bawah US$ 50 per barel.
Selain itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga mengalami penguatan dalam beberapa waktu terakhir. “Itu masih pemikirannya seperti itu. Rencananya, berlaku mulai 1 Juli 2016,” kata dia.
Sujatmiko menambahi, bahwa pemangkasan besaran subsidi itu merupakan usulan dari Kementerian Keuangan. “Itu usulan kementerian keuangan. Kami oke saja,” kata dia.
Pengamat energi Ahmad Dorifi mengatakan, saat ini harga minyak dunia bisa tertekan hingga level di bawah US$ 50 per barel karena sejak 10 tahun terakhir di Amerika, Inggris, dan China ditemukan jenis gas baru yang dinamai shale gas. Jumlah cadangannya jika ditotal mencapai triliunan kaki kubik.
“Kabarnya bisa digunakan sebagai pengganti minyak bumi dan batubara hingga 40 tahun ke depan,” kata Dorifi saat dihubungi.
Kendati begitu, temuan gas baru yang memicu ‘perang’ tentu tak didiamkan beggitu saja oleh negara-negara penghasil minyak yang tergabung dalam organisasi OPEC. Mereka terus berusaha melakukan konsolidasi untuk mengerem laju produksi yang saat ini berlebih dan menyebabkan kelebihan pasokan dan membuat harga melempem.
Setidaknya, kata Dorifi, ini terlihat dari pernyataan Menteri Energi Arab Saudi Khalid Al Falih kepada CNNMoney seusai pertemuan OPEC di Wina, Austria, awal bulan ini. Pria yang baru saja didapuk sebagai menteri energy oleh negara penghasil minyak terbesar itu sesumbar bahwa harga minyak dunia segera menembus US$60 per barel. Bahkan Al Falih berujar kondisi seperti itu tak menutup kemungkinan terjadi pada akhir tahun ini.
“Jika usulan Arab Saudi untuk menerapkan kuota produksi kepada anggota OPEC disetujui maka cerita tentang harga minyak dunia di bawah US$ 50 per barel bakal jadi cerita using. Harga akan melejit,” kata dia.
Kini, kuncinya ada di OPEC, Iran, serta Rusia. Iran memang terus menggenjot produksinya pasca dicabutnya sanksi oleh internasional. Sedangkan Rusia yang berada dalam ‘tekanan’ Amerika, juga terpaksa menggenjot produksi.
“Sehingga, pasokan masih banyak. Tetapi kondisi bisa berubah, jika semua negara-negara ini kompak mengatur pasokan. Dan ini sangat mungkin terjadi,” jelas Dorifi. (ktbr/Imh/Ara)