Jakarta – Pemerintah akan memotong rantai distribusi komoditas pangan yang selama ini dinilai panjang sehingga menyebabkan melambungnya harga komoditas tersebut. Namun, berbagai kalangan menilai selain mata rantai distribusi yang perlu dibenahi adalah proses transportasi dan logistik bahan pangan tersebut.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman di sela rapat koordinasi pangan nasional yang berlangsung di kantor Kementerian Pertanian, Jakarta, mengatakan pemerintah akan membentuk tim gabungan untuk memangkas rantai distribusi ini. Tim tersebut gabungan dari Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, serta Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM).
Satu hal yang ditekankan Amran adalah, tim tersebut dibentuk bukan hanya untuk kepentingan sesaat yakni hanya untuk kondisi bulan Ramadhan saja, tetapi juga untuk seterusnya. Tujuannya menekan harga komoditas pangan yang mahal.
“Tim ini komprehensif dan lengkap untuk menghadapi persoalan rantai pasokan yang terjadi puluhan tahun ini,” paparnya.
Menteri Perindustrian Saleh Husin di tempat yang sama mengatakan, pihaknya dilibatkan dalam tersebut karena berada di domain hilirisasi industri pangan. Beberapa komoditas yang dikonsumsi masyarakat diolah di pabrik dan kemudian didistribusikan.
“Jadi, ada rantai distribusi dari bahan pangan olahan ini,” ucapnya.
Sementara itu, salah seorang pengurus Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) mengatakan, jika pemerintah bertekad untuk mencegah lonjakan harga komoditas pangan, sebaiknya membenahi proses logistic dan transportasi bahan pangan itu. Dia menyebut hingga saat biaya logistik di Indonesia itu paling mahal di ASEAN, atau bahkan dunia.
“Komponen biaya logistic (transportasi) di Indonesia itu mencapai 26,3%. Sehingga enggak heran jika harga pangan mahal. Selain rantai distribusinya yang panjang tentunya. Itu yang harus dibenahi,” ujarnya saat dihubungi Otoniaga.
Dia menyebut, pungutan atau biaya-biaya yang dikenakan kepada truk angkutan barang terlalu banyak. Bahkan yang tak resmi pun juga masih kerap terjadi di jalanan. “Menurutnya, pungutan di Bandara, Pelabuhan, jalanan, dan pungutan tak resmi yang masih marak menjadi beban baru dalam komponen biaya.
“Itu yang menjadikan harga barang termasuk pangan mahal. Celakanya segala pungutan itu tidak dikembalikan untuk pembangunan infrastruktur jalan. Jadi ini seperti monster yang bergentayangan,” paparnya.
Sementara itu, peneliti senior Lembaga Kajian Ekonomi dan Kebijakan Publik BetaMagna, Andi Ilham menyebut biaya transportasi menjadi komponen logistik dengan porsi terbesar paling besar dalam rantai distribusi barang termasuk pangan.
Dia menyebut, dalam proses pembelian – yakni distribusi dari produsen ke pedagang – biaya transportasi memiliki porsi 47-60% dari total biaya atau harga. Sedangkan dalam proses penjualan – yakni dari pedagang ke konsumen – biaya transportasi porsinya mencapai 55 – 65%.
“Dari sini saja ketahuan, betapa transportasi ini memiliki peran yang vital dalam proses distribusi. Memang, rantai ada beberapa mata rantai mulai dari distributor besar, distributor menengah, pengepul, hingga pengecer. Tapi itu semua kan menggunakan transprtasi. Belum lagi di masing-masing transportasi dari satu titik ke titik lain juga banyak biaya,” paparnya.
Hasil kajian yang dilakukan beberapa lembaga, menurut Ilham, menunjukan, kompoen biaya transportasi yang paling besar dialami komoditas cabe merah. Maklum, bahan pangan ini sifatnya cepat membusuk. Sedangkan pengirimannya ke berbagai daerah yang jauh seperti Sulawesi, Kalimantan, hingga Papua.
Hal itu diakui Jack – bukan nama sebenarnya – salah seorang sopir angkutan truk dari Semarang, Jawa Tengah, di Pasar Induk Tanah Tinggi, Tangerang. Bahkan, dia mengatakan, sopir truk yang mengangkut beras kerap harus mengeluarkan biaya ekstra.
“Pungutannya di sepanjang Pantura (Pantai Utara Jawa) ampuun pak, itu yang resmi. Belum lagi yang tidak resmi. Belum bongkar muatnya,” kata dia. (Ktbr/Ara)