Toronto – Pada tahun 2010 lalu sebuah organisasi swadaya masyarakat dan pemerintah kota Toronto, Kanada, berkolaborasi mengubah bus kota bekas menjadi pasar berjalan. Kini, enam tahun berlalu, manfaat pasar itu benar-benar bisa dirasakan.
Laporan yang dari Collective Evolution beberapa waktu lalu menyebut, manfaat itu kini benar-benar dirasakan oleh kalangan golongan kurang mampu di pinggiran kota. Mereka yang tak sanggup membeli bahan pangan di supermarket mewah bisa merasakan bahan pangan segar dan berkualitas bagus.
Sebab, dengan sistem mobile atau berjalan, pasar itu tak terbebani pajak yang besar. Ongkos operasionalnya pun tak semahal supermarket yang mempekerjakan karyawan dengan dandanan mentereng dan segala macam pernak-pernik pelengkap yang berbiaya mahal.
“Pasar berjalan yang nyaman itu telah menjangkau kawasan Greater Toronto Area dan menjual makanan segar dengan harga yang terjangkau di depan pintu rumah orang. Sehingga membuat makanan sehat bisa diakses semua kalangan, bahkan lingkungan golongan berpenghasilan rendah sekali pun,” bunyi laporan itu.
Ide awal pembuatan pasar berjalan itu dilontarkan oleh organisasi swadaya masyarakat Toronto FoodShare. Ide ini bertujuan untuk menyediakan makanan segar dan sehat serta kualitas yang bagus bagi semua orang di Toronto. Terlebih bagi kaum miskin yang rawan menghadapi masalah gizi bagi keluarga mereka.
Gayung pun bersambut. Pemerintah kota dan United Way Toronto menyambutnya positif. Mereka menemukan ide untuk memanfaatkan bus kota besar yang kondisi masih bagus. Maklum, bus-bus kota itu teronggok begitu saja di area pembuangan di berbagai pinggiran kota.
Ketimbang mangkrak tak berguna, lebih baik dimanfaatkan. Toh kondisinya bagus. Begitu pemikiran para pencetus ide ini.
Langkah konkret pun diwujudkan dengan melakukan modifikasi bus. Tak semua badan bus dibuat, namun diubah menjadi seperti toko besar yang berjalan. Di sinilah semua sayuran seperti sawi, kangkung, kol, wortel, kentang, dijual. Begitu pun dengan berbagai buah-buahan mulai dari jeruk, pisang pir, kiwi, dan lain-lain.
Bus itu melayani trayek yang berbeda. Setiap trayeknya disambanginya dua kali dalam sepekan. Jadwal ini pas dengan jadwal belanja bagi mereka yang membutuhkannya.
Soal harga, meski tak memberi diskon karena pertimbangan biaya operasional bus yang tak bisa diturunkan, namun yang pasti jauh lebih miring ketimbang toko-toko konvensional. Selain itu, para konsumen tak perlu mengeluarkan ongkos untuk menuju toko konvensional atau supermarket yang harganya jauh lebih mahal.
Selain itu, para petani pun senang. Soalnya, hasil produksi pertanian mereka juga banyak yang menyerap. Itulah berkah dari sebuah bus kota bekas yang telah berubah. (Ara)