Jakarta – Kalangan pelaku usaha angkutan berharap pemerintah dan perbankan sudi menurunkan suku bunga kredit pembelian armada. Jika itu dikabulkan bukan hanya revitalisasi angkutan umum yang terjadi, tetapi geliat ekonomi juga terpacu.
Menurut Kurnia Lesani Adnan, Ketua Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI), saat ini tingkat suku bunga kredit untuk pembelian kendaraan komersial – baik bus maupun truk – rata-rata 12 % dengan tenor 4 tahun. Sementara, suku bunga kredit untuk pembelian kendaraan pribadi berkisar antara 6 – 9% dengan tenor hingga 5 tahun.
“Padahal, dilihat dari fungsi dan manfaat secara ekonomis, kendaraan komersial memiliki sumbangsih yang tinggi. Bukan hanya sekadar konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan penyerapan tenaga kerja pendukung operasional, tetapi juga menjadi bagian dari penggerak roda perekonomian,” tuturnya saat dihubungi Otoniaga, di Jakarta.
Pernyataan serupa diungkapkan Rifwan Numansyah, pengusaha angkutan truk yang biasa melayani jasa angkutan Jakarta – Bali. Menurutnya meski ada moda transportasi lain selain truk dan bus – seperti kereta api, pesawat terbang, dan kapal laut – namun keberadaan truk masih dibutuhkan.
“Angkutan barang dan jasa logistik masih memainkan peran penting dalam supply chain management para pengusaha. Artinya, peran angkutan truk dalam pergerakan ekonomi cukup signifikan. Bahkan, data terakhir menunjukkan angkutan barang dan orang di Indonesia saat ini 90 % masih bertumpu pada jalan raya alias angkutan darat,” paparnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, sudah semestinya pemerintah memberikan perhatian kepada sektor angkutan bukan hanya dalam rangka angkutan manusia yang aman dan nyaman, tetapi juga dalam perspektif ekonomi.
“Jika pemerintah ingin menggenjot pertumbuhan ekonomi, maka seyogyanya memberi perhatian. Bagaimana caranya enggak usah muluk-muluk, beri saja fasilitasi suku bunga kredit pembelian armada yang rendah atau setara dengan kredit mobil pribadi,” tuturnya.
Seperti halnya Kurnia, Rifwan mengatakan, isu ini semakin strategis karena pemerintah juga mewacanakan revitalisasi angkutan umum. Selain untuk keselamatan, program itu juga menjadi wahana mengajak masyarakat menggunakan angkutan umum.
“Dengan beralihnya masyarakat ke angkutan umum yang layak, nyaman, dan aman, maka bukan hanya konsumsi BBM yang bisa dihemat tetapi juga mengurangi kemacetan,” kata Kurnia.
Penggiat Masyarakat Peduli Transportasi Indonesia, Abdil Furqon mengamini pendapat keduanya. Dia menyebut, isu moda transportasi umum yang aman dan nyaman memang menjadi isu utama bagi semua pemangku kepentingan di Indonesia.
“Bicara soal orang beralih ke angkutan umum, dan keberadaan angkutan yang layak, aman dan nyaman seperti fenomena telur dan ayam. Tapi kalau tidak segera diputus lingkaran setannya ya kapan mulai. Yang utama adalah, revitalisasi dulu angkutannya,” kata dia.
Abdil mengatakan, bicara soal angkutan umum baik bus maupun truk memang tidak bisa dilepaskan dari perannya dalam pergerakan ekonomi. Maklum, keduanya merupakan barang modal yang digunakan untuk kegiatan produktif.
“Berbeda dengan kendaraan pribadi yang bersifat konsumtif. Jadi, memang wajar jika kalangan pelaku usaha berharap suku bunga kredit untuk diturunkan. Tetapi, kalangan perbankan atau lembaga keuangan juga memiliki alasan dengan logikanya sendiri, yakni faktor risiko dari usaha angkutan,” paparnya.
Namun, lanjutnya, hal itu bukan harga mati. Jika pemerintah memang berkomitmen untuk menggenjot perekonomian dan berharap sumbangsih kendaraan komersial lebih besar, maka bisa membuat kebijakan penjaminan.
“Di negara-negara lain seperti Malaysia, Filipina, dan negara ASEAN lainnya, suku bunga kredit untuk pembelian bus dan truk berkisar 4 – 6% dengan tenor lebih dari 10 tahun. Tapi pengusaha benar-benar berkomitmen mewujudkan tujuan yang ingin dicapai pemerintahnya,” ucapnya.
Sejumlah pejabat Agen Tunggal Pemegang Merek kendaraan komersial yang ditemui Otoniaga beberapa waktu lalu mengatakan, hingga saat ini sekitar 80 – 90 % pembelian sasis bus dan truk oleh pengusaha dilakukan dengan cara kredit. (Ara/Ktbr)