Mengurai Benang Kusut Pasar Pickup Indonesia

Budi Nur MukminPenjualan kendaraan komersial pickup dalam beberapa tahun terakhir mengalami pasang surut, seiring kondisi perekonomian nasional yang tengah berlangsung. Maklum, pickup bukan sekadar alat transportasi operasional, tetapi juga menjadi alat distribusi bagi hasil produksi penggunanya, baik perusahaan bidang jasa, perkebunan, pertambangan, perikanan dan pertanian, konstruksi, dan sebagainya.

Sebagai kendaraan operasional dalam menunjang kegiatan produksi maupun distribusi– atau dalam istilah ekonominya sebagai salah satu barang modal- keberadaan mobil ini juga terkait erat dengan derap langkah roda ekonomi.

Read More

Lantaran itu pula, bisa dipahami jika permintaan oleh konsumen – yang sebagian besar adalah sektor korporat atau fleet market, juga naik turun. Fakta berbicara, total penjualan pickup dan termasuk pickup kecil, sepanjang tahun 2013 sebanyak 213.000 unit atau sekitar 17 persen dari total penjualan kendaraan bermotor roda empat atau lebih pada saat itu.

Pada tahun berikutnya, penjualan sedikit mengalami kenaikan menjadi 217.000 unit atau 19 persen dari total penjualan. Namun, setahun kemudian atau sepanjang tahun 2015, penjualannya menyusut sehingga menjadi 200.000 unit.

Kendati begitu, dilihat dari market share yang digenggamnya di pasar kendaraan nasional tak mengalami perubahan yakni 19 persen. Maklum, pada saat ini volume pasar juga menciut, sehingga penjualan semua tipe atau jenis kendaraan bermotor roda empat atau lebih termasuk pickup juga menyusut.

Pemantik dari penurunan penjualan – terutama di segmen kendaraan komersial seperti pikap – adalah faktor daya beli. Sebab, sejak tiga tahun terakhir kondisi sektor komoditas terutama pertambangan, perkebunan, serta jasa konstruksi mengalami perlambatan pertumbuhan atau bahkan bisa dibilang penurunan.

12798940_10153967036537298_211242259085243931_nPermintaan pasar global yang melempem akibat hantaman badai krisis ekonomi global masih terus terjadi. Komoditas andalan ekspor dari perkebunan seperti minyak sawit mentah alias CPO, karet, dan kakao menghadoi pasar yang tengah lesu.

Sementara, sektor pertambangan tak hanya menghadapi sepinya permintaan dari negara-negara pembeli. Sektor ini juga lunglai di internal, terutama sejak lahirnya Undang_undang Minerba pada 2012 yang lalu.

Muara dari kondisi itu semua adalah, surutnya permintaan kendaraan operasional termasuk pikap. Ini bisa dipahami, karena perusahaan juga berpikir ulang untuk melakukan penggantian armada operasionalnya karena laba atau penghasilan mereka juga tergerus.

Terlebih, di saat yang sama, tingkat suku bunga masih tinggi. Bahkan hingga kini. Kendati Bank Indonesia telah memangkas tingkat suku bunga acuan alias BI Rate hingga 75 basis poin, sehingga menjadi 6,75 persen saat ini, namun lembaga keuangan bank maupun non bank masih enggan untuk memangkas suku bunga kredit mereka.

Tapi lagi-lagi, itu semua juga bisa dimengerti jika alasan yang disodorkan adalah sikap kehati-hatian atau prudent demi menjaga terjadinya peningkatan non performing loan (NPL). Sebab, kondisi perekonomian juga masih belum stabil.

Mengurai persoalan ini semua memang pelik. Tapi, ini bukan berarti tidak mungkin dibenahi. Tak ada sesuatu yang muskil dalam persoalan tersebut. Sekarang kita lihat di mana ujung simpul untuk menyelesaikan masalah.

Saat ini kondisi ekonomi, domain utamanya ada di pemerintah. Oleh karena itu seyogyanya pemerintah memikirkan bagaimana sektor industri, sektor komoditas, jasa, perdagangan, kembali bergairah terutama terkait dengan penyediaan sarana angkutan.

Mendorong kembalinya harga komoditi –perkebunan, pertanian, dan tambang- kembali membaik dengan melakukan lobi di pasar global semestinya dilakukan. Sementara, untuk penyerapan kendaraan, tidak berlebihan jika sektor-sektor itu dibantu atau diringankan bebannya dalam membeli sarana tarnsportasi mereka yang nota bene adalah barang modal untuk produksi dan distribusi produk.

Salah satu cara yang bisa ditemouh dan bisa dengan mudah dilakukan adalah memangkas tariff pajak untuk kendaraan pickup 4×4. Pasalnya, pajak kendaraan tipe ini masih dirasa mahal sehingga menjadi beban tambahan bagi perusahaan penggunanya.

Dengan demikian, sektor-sektor yang menggunakannya mendapatkan angin segar karena beban terkurangi. Di sisi lain, industri kendaraan juga tak mengalami stagnasi penjualan. Itu yang diharapkan segera terjadi.

*Penulis adalah General Manager Marketing Strategy & Product Planning PT Nissan Motor Indonesia.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *