Jakarta – Para pengusaha angkutan truk yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo), meminta agar sanksi kelebihan muatan atau overload pada angkutan barang secara tegas ditegaskan oleh pemerintah. Namun, sanksi tidak hanya diberikan kepada angkutan yang melanggar tetapi juga pengusaha pengguna jasa truk.
“Kami sangat menyadari dan harus mendukung pemerintah dalam hal pembatasan kapasitas muatan (truk) jangan sampai melebihi batas maksimal yang ditetapkan. Kenapa? kalau infrastruktur (jalan) rusak, apalagi sampai parah akibat banyak truk kelebihan muatan lewat, maka kita semua yang akan menanggung akibatnya,” tutur Wakil Ketua Umum Aptrindo Bidang Logistik dan Distribusi, Kyatmaja Lookman kepada Otoniaga, Kamis (15/9).
Masyarakat, lanjut Kyat, akan kesulitan mendapatkan barang karena perjalanan truk terhambat. Bahkan harga barang melambung karena biaya logistik naik. “Pengusaha truk juga akan menjerit karena sering terlambat sehingga ongkos membengkak dan pengusaha atau perusahaan pengguna jasa juga sering complain karena kiriman barang terlambat. Ekonomi pun akan terhambat karena angkutan truk merupakan pendukung gerak roda perekonomian. Dan yang pasti, anggaran perbaikan jalan akan terus meningkat,” paparnya.
Oleh karena itu, lanjut Kyat, pengusaha angkutan truk meminta ada solusi untuk mengatasi persoalan ini, yang bersifat menyeluruh. Kebijakan itu tidak hanya merugikan pengusaha angkutan truk maupun pengguna jasa angkutan, serta masyarakat selaku konsumen. “Tetapi juga kepentingan nasional terlindungi. Jadi jangan hanya angkutan truknya saja yang ditindak, tetapi juga penggunanya yang melanggar. Tapi sebelum menerapkan aturan, sebaiknya perintah melakukan kajian yang lebih mendalam terlebih dahulu,” kata Kyat.
Pernyataan serupa diungkapkan Jimmy Ruslim, Direktur Dunia Express Transindo, perusahaan angkutan truk dan pergudangan. “Tapi, regulator atau pemerintah juga harus melihat dulu apa akar masalah dari semua ini, sehingga pengguna jasa angkutan truk ada yang minta truk pengangkut barang miliknya melakukan muatan melebihi batas,” kata dia melalui pesan singkatnya kepada Otoniaga.
Salah satu penyebab, lanjut Jimmy, adalah kondisi lalu-lintas yang macet, sehingga dirasa tak efisien untuk pengiriman barang. Sehingga, jika harus melakukan beberapa kali pengangkutan, selain tak efisien karena biaya membengkak juga mempengaruhi kinerja bisnis.
Pernyataan Jimmy diamini Kyatmaja. Oleh karena itu keduanya meminta agar pemerintah, khususnya pemerintah DKI Jakarta, untuk berpikir ulang jika ingin melakukan pembatasan usia truk. “Kami bersyukur, akhirnya ada perkembangan dari pemerintah daerah (DKI Jakarta) soal pembatasan usia truk ini (sebelumnya dalam Perda Nomor 5 Tahun 2014 ditetapkan maksimum 10 tahun, akhirnya disepakati 20 tahun dengan masa transisi pemberlakuan efektif dua tahun),” kata dia.
Jika aturan pembatasan diberlakukan secara kaku, maka jumlah truk di Jakarta akan banyak berkurang. Sebab, jumlah truk yang berusia di atas 10 tahun apalagi 20 tahun masih banyak. “Sebab, pengusaha juga berpikir soal titik optimum masa pakai truk. Dengan biaya leasing 5 tahun dan depresiasi dalam pembukuan itu 8 tahun. Jadi, kalau dibatasi 10 tahun berarti baru 2 tahun cari penghasilan sudah harus diremajakan. Padahal untuk peremajaan juga tak murah,” ucapnya.
Padahal, truk yang berusia tua, dalam kondisi lalu-lintas dan utilitas truk pada saat ini, justru menjadi tulang punggung bisnis bagi pengusaha. Sebab, armada yang baru masih dalam proses penyelesaian kredit, sehingga belum menghasilkan.
Jadi, sebut Jimmy, kalau truk-truk itu kemudian hilang dari peredaran karena ada pembatasan usia. Dan yang tersisa kemungkinan besar akan mengangkut melebihi muatan juga akan sangat tinggi.
Data Dishubtrans DKI menunjukkan, jumlah truk angkutan barang di Jakarta yang berusia hingga sampai 5 tahun saat ini 20.763 unit atau 47%. Usia 5-10 tahun sebanyak 8.103 unit atau 18%, usia 10-15 tahun sebanyak 13.176 unit. (Ara)