Jakarta – Kalangan pengusaha angkutan truk di Indonesia mengakui rendahnya daya saing angkutan truk Indonesia, sehingga belum siap bersaing dengan angkutan truk dari negara lain di era pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) saat ini. Salah satu penyebab terbesarnya adalah kemacetan lalu-lintas sehingga tingkat penggunaan (utilisasi) truk rendah.
“Harus diakui kita belum siap (berkompetisi dengan negara lain) di era MEA sekarang. Bahkan di ASEAN sekalipun, tingkat utilisasi truk kita masih lebih rendah,” tutur Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo), Kyatmaja Lookman kepada Otoniaga, di Jakarta, Jumat (16/9).
Menurutnya, tingkat utilisasi rata-rata truk di Indonesia baru sejauh 50.000 kilometer (km). Padahal, di Thailand telah mencapai 120.000 km. Bahkan di negara-negara Eropa seperti Jerman, Prancis, Italia, dan lain-lain telah mencapai 200.000 km.
Penyebab dari rendahnya tingkat utilisasi di Indonesia adalah kemacetan. Daya dukung jalan yang tak sebanding dengan jumlah kendaraan telah menyebabkan akut di hampir semua ruas jalan. Terlebih jika jalan tersebut mengalami kerusakan akibat kendaraan yang bermuatan melebihi batas yang semestinya.
Selain faktor kemacetan, penyebab yang lain adalah demurrage di kapal, yang menyebabkan 65% waktu yang dijalani truk hanya diam saja di kapal. Hal itu terjadi karena bongkar muat di pelabuhan yang lama.
Pernyataan serupa diungkapkan pengamat ekonomi transportasi Julian Agustianto. Mengutip laporan Bank Dunia tentang daya saing logistik bertajuk “Connecting to Compete, Trade Logistics in the Global Economy’, dia menyebut peringkat daya saing Indonesia menurun pada tahun ini.
“Jika pada tahun 2014 lalu peringkat daya saing logistik Indonesia masih 53, tahun ini berada di peringkat 63. Tetapi negara–negara lain di ASEN seperti Vietnam turun dari 48 di 2014 menjadi peringkat 64. Sedangkan Filipina turun dari peringkat 57 di 2014 melorot ke posisi 71 pada tahun ini,” tuturnya.
Seperti halnya Kyatmaja, Julian menyebut Indonesia saat ini mengalami fase krisis infrastruktur. Selain kapasitas jalan yang tak sebanding dengan jumlah kendaraan, tak sedikit jalan yang mengalami kerusakan dan tidak terkoneksi dengan baik. “Artinya begini, soal interkoneksi itu, banyak sekali jalan yang memutar dan berputar rutenya. Sehingga banyak wasting time, atau tidak efisien,” kata dia kepada Otoniaga.
Akibat kondisi seperti itu, maka biaya logistik Indonesia mahal. Bahkan lebih mahal dibanding negara-negara lain di ASEAN. “Biaya logistik di kita, saat ini 24% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara di Malaysia, hanya 8%, Singapura 6%,” paparnya.
Untuk mengatasi persoalan ini memang tidak cukup jika ditangani oleh salah satu lembaga seperti Kementerian Perhubungan atau Kementerian Pekerjaan Umum saja, tetapi harus melibatkan semua pemangku kepentingan. Sedangkan skala prioritas harus diberikan kepada infrastruktur.
“Masalahnya, anggaran untuk infrastruktur kita masih rendah. Tahun lalu saja baru 5% dari PDB. Bahkan tahun-tahun sebelumnya, hanya 2-3%,” ujarnya.
Oleh karena itu, dia berharap agar rencana pemerintah untuk memanfaatkan repatriasi dana melalui tax amnesty benar-benar terjadi. Sehingga, persoalan infrastruktur segera terselesaikan.
Adapun Kyatmaja mengaku akan membuat beberapa usulan dalam acara Seminar dan Lokakarya (Semiloka) yang digelar oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Kementerian Perhubungan, 21 – 23 September mendatang. “Untuk mengatasi kemacetan, kami usulkan agar pemerintah segera membuat transportasi publik yang aman dan memadai. Populasi mobil meledak karena ketidakmampuan pemerintah menyediakan transportasi publik. Itu salah satunya. Usulan lain, tentu saja soal kecepatan bongkar muat, menindak tegas truk overload karena menjadikan jalanan rusak, dan menggenjot pembangunan infrastruktur,” ujarnya.
Bahkan, Aptrindo juga akan melakukan pertemuan dengan para pengusaha truk di ASEAN pada Oktober mendatang. Selain bertukar pikiran, mereka diharapkan menelorkan solusi untuk mengatasi masalah yang dihadapi bersama. (Ara)