Pemerintah Diminta Ambil Alih Terminal A, Agar Bus Tak Dipalak dan Aman

Jakarta – Sejumlah kalangan berharap pemerintah pusat mengambil alih pengelolaan terminal bus tipe A namun dengan konsep pengelolaan yang lebih baik dan professional. Soalnya, dengan pengelolaan yang professional awak bus akan terhindar dari kemungkinan dipalak preman dan masyarakat merasa aman dan nyaman.

“Jika pemerintah memiliki komitmen yang tinggi dan mengalokasikan anggaran yang cukup untuk pembenahan semua Terminal Tipe A, seperti yang dilakukan di Terminal Tirtonadi Surakarta, maka itu akan sangat menguntungkan operator maupun konsumen. Awak angkutan tidak akan lagi dipalak oleh banyak preman. Karena yang melayani di terminal benar-benar hanya petugas saja (bukan pihak lain atau oknum), dan masyarakat pun merasa aman, nyaman, dan selamat di terminal,” papar Ketua Institut Transportasi Indonesia (Instran), Darmaningtyas dalam surat elektronik kepada Otoniaga, Rabu (21/9).

Read More

Ketua Bidang Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) ini menyebut, pengalihan kewenangan pengelolaan Terminal A memang merupakan amanat dari Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 9 Tahun 2015. Menurutnya, keuntungan bagi operator bus dan masyarakat pengguna bus jika terminal A diambil alih pemerintah pusat, sangat tergantung pada komitmen dan kemampuan pemerintah.

“Jika pemerintah memiliki komitmen yang tinggi dan mengalokasikan anggaran yang cukup untuk pembenahan semua Terminal Tipe A, seperti yang dilakukan di Terminal Tirtonadi Surakarta, maka itu akan sangat menguntungkan operator maupun konsumen,” paparnya.

Pernyataan senada diungkapkan Direktur Operasional PO Maju Lancar, Adiprasetyo dan Direktur Utama PO Gunung Harta, I Gede Yoyok Santoso. Keduanya mengaku tidak masalah jika operasional pengelolaan terminal bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP tersebut diambil alih oleh pusat.

“Blue print, konsep pengelolaan, dan pelaksanaan operasional terminal harus jelas. Jadi antara satu terminal dengan terminal lainnya harus sama standarnya. Sehingga salaing untung antara pengelola terminal, operator bus, serta masyarakat. Yang menjadi kendala kami (operator bus) selama ini, peraturan tiap terminal berbeda-beda (karena standar operasi dan aturan daerah juga berbeda),” ungkap Yoyok yang diamini Adiprasetyo.

Akibat kondisi seperti itu, waktu perjalanan yang harus ditempuh oleh bus semakin bertambah alias terlambat. Biaya operasional pun membengkak dan pendapatan berkurang. Bahkan, karena kondisi terminal yang tak memiliki standar baku pelayanan, banyak yang ala kadarnya kendati bangunan fisiknya bagus. Walhasil, masyarakat banyak yang enggan menyambangi terminal dan naik bus.

“Itulah mengapa kemudian terjadi fenomena jumlah orang yang tertarik naik bus berkurang. Ini sudah terjadi. Lantas banyak pihak, terutama beberapa pejabat dengan mudahnya menuding dan memberi stigma bahwa angkutan bus itu tidak menarik karena layanan, kenyamanan, keamanan kurang bagus. Padahal, ini tidak berdiri sendiri. Mengapa layanan dan keamanan berkurang, karena pendapatan mereka tergerus oleh biaya-biaya siluman yang kadang mencekik operator bus,” papar Ketua Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI), Kurnia Lesani Adnan, yang tengah berada di Hanover, Jerman, melalui pesan singkat kepada Otoniaga.

Kurnia Lesani Adnan - Ketua Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI),
Kurnia Lesani Adnan – Ketua Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI),

Bahkan dia mempertanyakan kompetensi para petugas atau aparat di daerah yang menangani operasional terminal. Tidak sedikit diantara mereka yang tidak memahami manajemen transportasi dalam pengertian yang sebenarnya.

“Dasar kompetensinya seperti apa? Padahal, manajemen transportasi bukan sekadar soal oengaturan arus lalu-lintas. Ini njuga soal bisnis, soal tata kota, soal bagaimana interkoneksi antara satu moda dengan moda lain dalam menumbuhkan pereknomian secara makro dan komprehensif. Bukan cuma mengatur lalu-lintas dan penarikan retribusi,” ujarnya.

Namun, seperti halnya Darmaningtyas, Kurnia minta pemerintah pusat juga memiliki konsep, komitmen, dan konsistensi dalam mewujudkan perbaikan. Terminal dijadikan sentra bagi mobilitas masyarakat yang aman, nyaman, sekaligus menyenangkan.

Aspek yang terpenting dari pengelolaan terminal adalah pelayanan kepada publik, bukan aspek ekonomi atau pendapatan daerah. Jika itu tak terjadi, maka pengelolaan terminal oleh pusat tak ada bedanya dengan pengelolaan oleh daerah.

“Selama ini ada pemahaman yang keliru, bahwa terminal menjadi sumber pendapatan atau kalau di daerah namanya PAD (pendapatan asli daerah). Akibatnya pelayanannya diabaikan. Padahal fungsi terminal adalah pelayanan publik agar para pengguna angkutan umum merasa aman dan nyaman, terutama saat turun/naik di terminal,” kata Darmaningtyas.

Sebelumnya, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi di sela acara dengar pendapat dengan DPR, di gedung parlemen, Jakarta, (5/9) mengaku akan mengkaji kembali pengambilalihan terminal Tipe A dan jembatan timbang oleh pemerintah pusat. Bahkan, mantan Direktur Utama PT Angkasa Pura II ini menyebut, terminal tipe A dan jembatan timbang masih bisa dikelola oleh pemerintah daerah.

“Kita akan konsisten dan bila mungkin setelah kita lakukan klarifikasi undang-undang (nomor 23 tahun 2015 tentang Pemda), kita sebagai ‘steering committee’ akan mengkaji proses operasional yang akan dilakukan oleh pemda setempat,” tuturnya.

Sejauh pengelolaan terminal oleh Pemda tidak menganggu pelayanan kepada masyarakat, lanjutnya, maka pengelolaannya masih dimungkinkan. Menurutnya, aspek utama yang harus diperhatikan adalah pelayanan kepada masyarakat. (Ara/Ktb)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *