Jakarta – Kementerian Perindustrian tengah bersiap memberlakukan wajib Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi produk pelumas dengan alasan melindungi industri dalam negeri dan konsumen. Persaingan bisnis oli pun diperkirakan semakin ‘panas’.
“Indonesia memang menjadi pasar yang seksi bagi produsen oli dari berbagai pelosok dunia. Mengapa? Karena industri dan pasar otomotif terus bertumbuh,” tutur Julian Agustianto, pengamat ekonomi dan industri transportasi dalam surat elektronik kepada Otoniaga, Senin (10/10).
Menurut kandidat doktor dari salah satu universitas terkemuka di Australia itu, saat ini tingkat penetrasi pasar otomotif di Indonesia masih terbilang kecil yakni 6,7% dari 247 juta jiwa penduduk. Artinya, tingkat kepemilikan kendaraan individu di Indonesia masih sangat kecil.
“Bandingkan dengan Malaysia yang mencapai 36,5% dari penduduk yang sebanyak 28 juta jiwa, yakni satu dari tiga penduduk Malaysia memiliki mobil. Artinya, potensi pasar di Indonesia masih sangat besar, terlepas dari kondisi naik turunnya perekonomian nasional yang bisa berubah sewaktu-waktu,” ucapnya.
Sementara, industri manufaktur di Indonesia juga diperkirakan akan terus bertumbuh mengingat banyaknya sumberdaya alam yang merupakan bahan baku. Terlebih banyak sekali industri di sejumlah negara yang sudah mengalami tingkat kejenuhan produksi maupun pasar.
“Sementara mereka memiliki kapital yang lebih. Dan capital itu harus diputar agar perusahaan sehat. Di China, Jepang, sejumlah negara Eropa misalnya. Nah, dengan hadirnya industri itu maka kebutuhan terhadap pelumas juga akan terus bertumbuh. Di sinilah yang saya katakana, potensi pasar pelumas atau oli di Indonesia akan semakin membesar. Belum lagi populasi kendaraan yang ada saat ini – sekitar 104 juta dengan kurang lebih 72% motor – penggantian oli untuk perawatan juga sangat besar ,” paparnya.
Kini, lanjutnya, jika pemerintah menerapkan wajib standar SNI, maka produsen-produsen yang akan dan telah masuk akan menyesuaikan. Babak baru persaingan pun akan dimulai karena adanya tatanan anyar tersebut.
Ketua Bidang Organisasi dan Pengembangan Asosiasi Produsen Pelumas Indonesia (Aspelindo) Andria Nusa, akhir Juni lalu mengatakan pihaknya merasa sudah lama mendorong pemerintah memberlakukan SNI wajib untuk oli. “Tujuannya tentu memberikan perlindungan kepada industri pelumas nasional, karena sudah banyak yang harus gulung tikar,” paparnya.
Dia menyebut, para produsen oli dalam negeri harus berjuang keras menghadapi gempuran pelumas impor dan oplosan. Situasi dirasa semakin sulit karena kapasitas pasar tak sebanding dengan kapasitas produksi.
“Kapasitas produksi industri oli dalam negeri mencapai 2 juta kiloliter. Sementara , kebutuhan dalam negeri hanya 800 ribu kiloliter. Banyak produk yang tidak terserap. Dampaknya banyak pabrik yang tutup,” tuturnya.
Bagi Julian Agustianto, alasan industri dalam negeri cukup beralasan. Bahkan di saat tatanan global tentang perdagangan diberlakukan sekalipun. Sebab, kata dia, banyak negara-negara di dunia yang juga menerapkan hambatan non tarif – dengan berbagai rupa warna dan alasan – untuk melindungi industri dalam negerinya.
Memang, sebut Julian, secara logika, banyaknya pemain di pasar akan menyebabkan persaingan lebih sempurna dan konsumen akan mendapatkan harga terbaik. Oleh karena itu, kepentingan konsumen juga harus dipikirkan oleh pemerintah selaku regulator, sehingga produsen bisa menurunkan harga.
Data Kementerian Perindustrian dan beberapa lembaga riset di Tanah Air menyebut tak kurang dari 200 merek atau nama produk oli untuk berbagai penggunaan, bertebaran di Tanah Air. Oli-oli itu diproduksi oleh 20 pabrik milik produsen baik lokal maupun dari mancanegara.
Konsumsi konsumen rata-rata mencapai 1,8 juta kiloliter saban tahunnya. Sedangkan produksi dalam negeri hanya 850.000 kiloliter per tahun. Sehingga, sisanya dipenuhi dari impor.
Meski begitu, tak sedikit pula oli produksi Indonesia yang diekspor. Sepanjang tahun 2014 lalu misalnya, nilai ekspor oli mencapai US$ 86,5 juta. Sedangkan impornya – di tahun yang sama – mencapai US$ 354,7 juta. Tahun 2015, nilai ekspor US$ 87 juta dan impor US$ 355 juta.
Pertamina disebut masih menjadi penguasa pasar dengan 50 – 54% pangsa pasar. Namun, penguasaan itu turun dibanding beberapa tahun sebelumnya. Pada tahun 1997, masih mengangkangi 90% pangsa pasar.
Dominasi Pertamina mulai surut saat pemerintah mencabut Keppres Nomor 18 tahun 1988 dengan Keppres Nomor 21 tahun 2001, keran bagi produsen asing dibuka. Perlombaan untuk terus memperbesar produksi dan varian produk pun dilakukan.
Tercatat, pada November 2015 lalu produsen pelumas asal Belanda, Shell mengoperasikan pabrik barunya yang berlokasi di Bekasi, Jawa Barat. Pabrik tersebut berkapasitas 136.000 kiloliter per tahun.
Pada Desember tahun itu juga, Pertamina mengerek kapasitas produksi dengan mengoperasikan Lube Oil Blending Plant (LOBP) unit Jakarta sehingga mencapai 270.000 kiloliter per tahun.
Sementara, Phillips 66 – yang merupakan anak perusahaan Phillips Conoco Amerika Serikat – melalui PT Kendall Andalan Sempurna, pada Maret lalu telah resmi masuk ke pasar Indonesia. Kehadiran produsen itu semakin meramaikan riuh pasar oli yang sudah digarap oleh PT Pertamina Lubricant, PT Jumbo Power International, PT Wiraswasta Gemilang Indonesia (WGI), PT Nusaraya Putramandiri, PT ALP Petro Industry, PT Castrol Indonesia, PT Pacific Lubritama Indonesia, PT Tri Hasta Perkasa, PT Dirga Buana Sarana, PT FuchIndonesia, dan lain-lain.
Selain itu juga terdapat importir oli seperti Millenium, BFT, Top 1, Caltex, BP, United Oil, Capiro, dan lainnya. “Di sini persaingan bakal semakin ketat,” sebut Julian.
Sebelumnya, Kamis (6/10), usia menerima Country Chairman & President Director PT. Shell Indonesia Darwin Silalahi, Menteri Perindustrian Airlangga menyatakan pemerintah tengah menyiapkan pelaksanaan SNI wajib produk pelumas yang dijual di Indonesia.
“Salah satu (persiapan tersebut dengan menyiapkan lembaga) Balai Riset dan Standarisasi Industri Kemenperin disiapkan untuk melakukan pengujian terhadap pelumas,” tuturnya.
Lembaga ini, kata dia, perlu dipersiapkan. Sebab, sampai saat ini laboratorium pengujian standar pelumas baru dimiliki Pertamina dan Lemigas. Oleh karena itu, PT Superintending Company of Indonesia (Sucofindo) juga diminta untuk menyiapkan standarisasi.
Kalangan industri dalam negeri pun, kata Airlangga, termasuk PT Shell Indonesia – yang baru meresmikan pabrik pelumasnya di Marunda – juga mendukung.
“Mereka mendukung masalah SNI wajib ini. Tidak ada keluhan. Kalau tidak ada SNI kan soal persaingan tidak sehat,” imbuhnya. (Ara/ktb)