Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat hingga Agustus lalu, non performing loan (NPL) atau kredit bermasalah di bank mencapai 3,22% atau mengalami kenaikan dibanding Agustus yang sebesar 3,18%. Selain industri pertambangan dan industri pengolahan, bisnis transportasi penunjang kegiatan pertambangan juga menyumbang NPL yang tinggi.
Sektor pertambangan, mengalami masalah karena harga komoditas dan permintaan pasar yang menurun. Nah, lesunya bisnis pertambangan itu mempengaruhi industri turunannya seperti transportasi, terutama perusahaan sewa angkutan (mulai dari pickup, medium truck, hingga heavy duty truck) untuk kegiatan di tambang,” papar Deputi Dewan Komisioner Pengawasan Bank II, Budi Armanto, di sela seminar Banking Outlook 2017 & Tren Fintech di Jakarta, kemarin.
Dia berharap, tahun 2017 mendatang harga komoditas tambang bisa terek kembali. Namun dia juga menyadari hal itu tergantung dari kondisi perekonomian global. “Tapi yang pasti, kami masih mengimbau bank-bank untuk menyediakan provisi yang cukup besar,” ucapnya.
Muramnya kondisi yang dihadapi para pengusaha angkutan truk untuk sektor pertambangan, juga diakui Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) DPC Samarinda, Kalimantan Timur, Sadam Husen. “Pernyataan dari Deputi II OJK itu benar sekali. Di Kalimantan Timur, khususnya di Samarinda, banyak sekali perusahaan rental dump truck roda 6 atau 10 yang mengalami kredit macet,” tuturnya kepada Otoniaga melalui pesan singkat.
Redupnya penyewaan truk oleh perusahaan tambang, telah menyurutkan laju bisnis mereka. Sebab, begitu perusahaan tambang memangkas kegiatan atau bahkan menutup operasinya, maka kontrak dengan mereka juga berakhir.
“Padahal, banyak diantara mereka yang mengambil truk-truk baru sesuai dengan tuntutan dari klien mereka agar armada yang disediakan berusia muda,” kata dia.
Lemotnya kegiatan tambang dan muramnya bisnis jasa penyewaan truk untuk tambang itu, kata Sadam, mulai terasa sejak akhir 2014 atau awal 2015. Dan puncaknya, kata dia, terjadi sejak awal tahun 2016 ini.
Setidaknya, hampir 80 persen dari perusahaan rental alat berat dan truk untuk pertambangan mengalamai beratnya kondisi itu. “Kebetulan, saya juga bergereak di bidang rental alat berat. Jadi kondisi seperti ini saya tahu persis, dan banyak teman-teman yang mengalami nasib serupa curhat. Tapi karena ragu kapan kondisi ini membaik lagi, maka banyak pengusaha equipment mining yang pasrah diri dengan kredit macet yang terjadi,” paparnya.
Sementara, salah seorang anggota Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) mengatakan, banyak sekali perusahaan dan pelaku usaha pertambangan batubara yang sudah menghentikan operasi. “Istilahnya cutloss. Daripada terus menanggung beban operasional, sementara pendapatan tidak ada, ya kita hentikan saja. Termasuk kontrak-kontrak dengan para vendor atau pihak ketiga,” paparnya saat dihubungi.
Bahkan, sumber ini menyayangkan rencana kebijakan yang bakal ditempuh pemerintah untuk menggenjot pajak pertambangan khususnya mineral dan batubara seperti yang diungkapkan Menteri Keuangan, Sri Mulyani saat dengan 200 pengusaha migas dan minerba Rabu (26/5) malam.
“Sepertinya pemerintah ini tuli atau pura-pura enggak tahu. Kan kondisi pertambangan seperti ini karena ekonomi global juga lesu. Permintaan melorot, harga jatuh, kok mau dimintai pajak lagi. Dan itu terjadi sudah sejak 2014. Mustinya mikir yang benar dong,” ucapnya.
Dia tak menampik data Direktorat Pajak yang menyebut dari tahun 2011 – 2015, jumlah wajib pajak minerba yang melapor surat pemberitahuan tahunan (SPT) menurun. Jika pada tahun 2011 yang melapor 3.037 wajib pajak, pada tahun 2015 hanya 2.577 wajib pajak.
“Lhah, kan pada saat itu kondisi pertambangan dan perusahaan tambang sudah amburadul bisnisnya. Kegiatan berhenti, kan nihil. Lha terus bagaimana?,” ujarnya. (Ara/Ktb)