Jakarta – Performa sektor logistik Indonesia hingga saat ini masih rendah dibanding dengan negara-negara lain di dunia – bahkan tahun ini melorot di banding tahun lalu. Perlu langkah komprehensif untuk mendongkrak daya saingnya.
Beberapa waktu lalu, Bank Dunia telah mengeluarkan laporan Logistics Performance Index (LPI) secara berkala. Dalam laporan yang merupakan hasil survei kepada para profesional logistik di 160 negara dengan berdasar enam dimensi, yakni efisiensi customs & border management clearance, kualitas infrastruktur perdagangan dan transportasi, kemudahan pengaturan pengiriman, kompetensi dan kualitas jasa logistik, kemampuan melakukan tracking & tracing, serta frekuensi pengiriman tepat waktu.
Hasilnya, Jerman berada di peringkat pertama dengan skor 4,23. Sementara khusus di negara-negara ASEAN, peringkat pertama Singapura (peringkat 5 dunia), diikuti Malaysia (32), Thailand (45), Indonesia (63), Vietnam (64), Filipina (71), Kamboja (73), Lao PDR (152), dan Myanmar (113).
Peringkat Indonesia itu melorot. Sebab, pada tahun 2014, peringkat kita masih bertengger di posisi 53 dengan skor 3,08, dan sekarang berada di posisi 63 dengan skor 2,98.
Salah satu dimensi yang perlu mendapatkan perhatian kita adalah infrastruktur. Sebab, dimensi ini mempunyai skor terendah, yaitu 2,65. Infrastruktur menjadi salah satu masalah utama di Indonesia, terutama menyangkut jumlah, kapasitas, dan penyebarannya.
Pada sisi lain, LPI merupakan gambaran tingkat efisiensi dan efektivitas sektor logistik, terutama dalam pergerakan barang. Meski, LPI tidak menunjukkan secara eksplisit kondisi logistik Indonesia, termasuk biaya logistik.
Namun, yang pasti, kondisi sektor logistik yang buruk akan berdampak terhadap inefisiensi waktu dan biaya logistik. Ujungnya, akan meningkatkan waktu dan biaya operasional pengangkutan barang.
Walhasil, selain akan mengurangi tingkat keuntungan operator transportasi, biaya transportasi yang tinggi ini juga harus ditanggung oleh para pemilik barang sebagai salah satu pengguna jasa transportasi. Salah satunya adalah perusahaan-perusahaan manufaktur.
Selain itu, waktu transportasi yang lama atau tingkat ketidakpastiannya tinggi mendorong perusahaan-perusahaan manufaktur meningkatkan persediaannya yang akan berdampak terhadap biaya persediaan. Dua hal itu akan berdampak pada harga jual produk.
Akhirnya, masyarakat sebagai konsumen harus membeli produk dengan harga yang relatif lebih mahal. Secara nasional, harga produk yang mahal akan mengurangi daya saing, baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri.
Untuk melakukan perbaikan LPI dibutuhkan keterlibatan semua pemangku kepentingan. Baik semua kementerian dan lembaga terkait, maupun industri penyedia jasa logistik.
Adapun aspek-aspek yang perlu mendapatkan prioritas pembenahan adalah : Peningkatan kompetensi SDM logistik, baik di tingkat operasional, manajerial, maupun eksekutif, termasuk melalui sertifikasi kompetensi profesi bidang logistik.
Kedua, peningkatan daya saing penyedia jasa logistik antara lain melalui penerapan standar teknis dan proses dalam penyediaan jasa logistik untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas. Selain itu, para penyedia jasa logistik Indonesia perlu melakukan penguatan dan perluasan jaringan kerja secara global.
Ketiga, perbaikan regulasi dan kebijakan, terutama karena logistik bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah. Sehingga, regulasi dan kebijakan yang mengaturnya pun berasal dari beberapa kementerian di tingkat pusat dan di pemerintah-pemerintah daerah terkait.
Keempat, penguatan kelembagaan logistik nasional untuk mengintegrasikan pengaturan dan pembinaan sektor logistik yang saat ini dilakukan secara parsial dan tersebar di beberapa kementerian. Antara lain, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Keuangan, dan sebagainya.
Semua itu memang sebuah ikhtiar besar. Namun, bukan berarti semuanya sesuatu yang muskil dilakukan. Kuncinya adalah good will dan political will dari semua pemangku kepentingan untuk mewujudakn satu tujuan yang besar, yakni kemajuan bangsa.
*) Tulisan ini disarikan dari wawancara khusus dengan Chairman Supply Chain Indonesia, Setijadi.